Sabtu, 05 Maret 2016

Keterbukaan di 'Dunia Alkisah'

Keterbukaan di 'Dunia Alkisah'

Di sekitar kita sering terdengar pemeo yang populer dan diam-diam disepakati oleh masyrakat luas: “Anda boleh melontarkan kritik apa saja, tapi harus diperhatikan cara dan tempatnya. Tidak semua hal bisa kita ungkap di depan umum...”
Itu edisi berikut dari klise “kritik bebas, asal konstruktif”, atau “melontar pendapat bebas, tapi harus bertanggung jawab”. Dan semua itu merupakan pola-pola komuikasi kontemporer yang wantah, sesudah masyarakat “modern” kita gagal mentransformasikan idiom-idiom komunikasi budaya tradisional seperti sanepan, guyon parikena, atau yang secara verbal sering kita terjemahkan menjadi “kena ikannya, tak keruh airnya”.
Kita bisa memahami semua itu dalam kerangka pergeseran-pergeseran bentuk ungkap budaya, perubahan-perubahan etika komunikasi sosial, atau mungkin Anda temukan kerangka lain: itu hanyalah suatu jenis retorika poitik,eufemisasi bahasa, relativisasi epistemologi, yang keseluruhanya bermuara pada pusat-pusat kepentingan politik. Dan itu “bisa dipahami” karena hampir seluruh mekanisme kebudayaan masyarakat kita berposisi subordinatif terhadap kepanglimaan dunia politik.
***
            Siapakah yang menetukan “cara”, “tempat”, “ditempat umum”, yakni antangan disampaikannya suatu kritik? Orang yangmengkritik atau pihak yang dikritik?
            Setiap kode etik komunikasi mengandaikan suatu tatanan objektif yang disepakati secara imbang oleh kedua belah pihak. Saya kira masyarakat kita memiliki kelemahan serius dalam hal tersebut. Kalau Anda bermaksud menyamaikan kritik kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang dilakukan oleh Pak RT, dalam konteks budaya kita, harus dilakukan dengan cara dan ditempat yang dikehendaki oleh posisi nilai (psikologis, kultural) yang berlaku pada diri Pak RT. Bukan dengan cara dan ditempat yang mau atau ditentukan oleh sebuah konvensi objektif, sebab setiap konvensi memerlukan negoisasi berimbang antara Anda dengan Pak RT.
            Dengan kata lain, pihak yang mengkritik berposisi menyesuaikan diri terhadap orang yang dikritik. Penesuaian itu bisa bermakna ngemon atau mengabdi, dan meletakkan Anda pada posisi mengalah atau sungguh-sunguh kalah. Dan jika masih ada kalah-menang, yang berlangsung bukanlah dialog kritis, melainkan penekanan dan ketertekanan kekuaaaan.
            Pada latar kultural semacam ini tidak mengherankan bahwa tatkala sepanjang tahun 1990 dilontarkan isu keterbukaan, ia terasa begitu manis ditelinga, namun ia adalah “kembang plastik” dalam relitas budaya. Hanya kita-kita yang lugu yang tidak segera peka bahwa isu-isu bergerak tidak menuju akulturasi suatu nilai, melainkan suatu metode poitik kebudayaan. Atau lebih gamblang lagi: itu kembang gula dunia politik.
            Sampai hari ini kita masih belum bisa membantah kenyataan bahwa kebudaaan negara dan masyarakat kita tidak semakin meyediakan infrastruktur dan infrakultur untuk keberlangsungan egalitarianitas mekanisme dialog. Pelawak Asmuni pernah secara cerdas nyeletuk: bagaimana akan terjadi musaywarah kalau yang satu kuat dan yang satu lemah, dimana-mana yang satu tambah kuat dan lainnya tambah lemah.
            Pada metafora lain sering disebut orang Indonesia itu tengeng lehernya. Ia cenderung tidak bisa menoleh ke kiri atau ke kanan. Bisanya mendongak ke atas atau ndingkluk  ke bawah.
            Artinya, aspirasi dan tradisi budayanya, baik yang”asli” maupun yang direkayasa oleh budaya politik, tidak egaliter. Orang tidak begitu punya kemampuan untuk memandang orang lain dalam posisi sejajardi kiri atau kanannya, karena naluri dan cara pandang yang dididikkna ialah memandang orang lain sebagai atasan atau bawahan. Manusia Indonesia seolah-olah hanya mempunyai budaya vertikal dan tidak memiliki garis budaya horizontal.
            Tentu saja kita tak beerkeberatan apapun apabila yang kita omongkan adalah tata internal duniabirokrasi atau organisasi kemiliteran. Akan tetapi yang kita jumpai dalam masyarakat kita adalah salah-kaprah yang sangat parah dalam soal ini.
***
            Seorang camat tetu saja memandang bupati sebagai atasannya. Tetapi celakanya rakyat juga memandang pejabat sebagi atasan. Ini warisan sejarah feodal dan dikukuhkan pula oleh refeodalisasi budaya, yang rupanya diperlukan oleh poltik birokrasi negara kita. Dan karena itu lebih celaka lagi karena pejabat yang memandang rakyat sebagai bawahan. Hal ini bahkan terefklesikan ke dalam idiom kebahasaan: rakyat selalu disebut rakyat biasa, sehingga pejabat pastilah rakyat luar biasa.
            Orang miskin merasa bahwa orang kaya adalah “atasan”nya. Ulama menganggap bahwa para jamaah adalah “bawahannya”. Otoritas dalam bidang apa pun ha,pir selalu melahirkan tata budaya hirearkis-vertikal. Murid sekolah secara psikologis melihat guru adalah atasan dan susahnya banyak dosen-dosen juga meletakkan mahasiswa seolah-olah bawahannya.
            Festival” salah kaprah seperti itu mungkin tak pernah Anda bayangkan seberapa kerugian yang ditimbulkannya. Baik kerugian fungsi, kerugian ilmu, kerugian kretvitas, serta kerugian kesejahteraan secara menyeluruh. Kalau seorang guru melihat muridnya sebagai bawahan, maka prospek kreativitas keilmuan cenderung menumpul, baik pada guru maupun murid. Kelau seorang pegawai memandang masyarakat sebagai “orang di dataran rendah” kata prinsip fungionalitas birokrasi menjadi rusak, filosofi negara dan rakyat menjadi terbalik, sementara itu tinggal kita hitung berapa defisit proses, kerugian demokrasi, bahkan berapa jumlah uang angaran yang menjadi tidak efektifterhadap kehenak pembangunan yang sebenarnya.
            Yang paling menyedihkan ialah kenyatan bahwa banyak kalangan masyarakat umum, bahkan kaum terpelajar dan birokrat, yang tidak memahami bahwa itu semua salah-kaprah. Generasi mutakhir kita dilahirkan, dibesarkan dan dididik  oleh atmosfer yang sedemikian, dan mereka tidak cukup menyadari bahwa seharusnya tidaklah demikian.
***
            Seorang ketua RT berpidato diiringi ajudan yang membawakan kacamatanya. Seseorang dosen kehilangan ketrampilan untuk membuka pintu mobil dan membawa tasnya ke kasntor fakultas, sehingga diperlukan pembantu yang menolongnya. Pak kades, pak camat, atau apalagi pak bupati memilih bentuk upacara dalam performance-nya dalam konteks apa pun dengan ubo rampe ala pangeran atau raja. Seorang direktur perusahaan atau seorang kasubdit merasa bahwa tatkala makan direstoran atau buang air besar di WC ia tetaplah seorang direktur dan kasubdit.
            Pemahaman budaya masyarakat kita makin kehilangan pilah antara fungsi dan status. Seseorang tidak bisa membedakan lagi –pada dirinya sendiri aupun orang lain- kontes-konteks yang berbeda saat ia menjadi kapten, mejadi pemain sepakbola, menjadi bapak rumah tangga, serta saat ia menjadi manusia.
            Tentu saja pada diri setiap orang bercampur dan terkait antara semua status dan fungsinya, namun ada yang namanya galengan kesadaran, ada manajemen dan irigasi yang membeda-bedakan kedudukannya di ruang dan waktu yang berbeda.
            Dengan itu semua bisa kita bayangkan betapa kisruhnya silang sengkarut konteks dan pola-pola komunikasi antara manusia dalam kedudukannya yang begitu beragam setiap saat. Dan dalam keruwetan seperti itu tidak mengherankan apabila kultur dialog tidak cukup memiliki ladang untuk tumbuh subur.
            Kalau di kelas sekolah atau bangku universitas saja kultur dialog atau tradisi interargumentasi tidak cukup hidup, maka apalagi pada skala sosial yang lebih luas dari itu. Tatkala seorang wartawan bertanya kepada saya tentang isu keterbukaan, saya katakan, “ itu pertanyaan terlalu lugu. Coba Anda omong terbuka ke Pak RT, dan tunggu jumlah akibat-akibatnya!” Atau kemukakan pendapat Anda secara terbuka tentang tentara kepada tentara.
            Dan kalau mekanisme komunikasi budaya yang berlangsung tidak dialogis, tentu monolog yang terjadi. Bagi kaum atasan \, monolog ialah melontarkan otoritas terhadap bawahan, monolog ialah melamun sendiri atau menggerunda di jalan trotoar, minum bir, beli SDSB, atau rumah sakit iiwa.
            Kemudian resultan dari keseluruhan kultur tanpa dialog itu, seanjang yang kita ketahui, masih tersisa kemungkinan untuk berdialog. Ialah apabila tema dialog itu menyangkut dunia alkisah. Artinya, hal-hal yang tidak secara langsung menyangkut persoalan-persoalan kita sendiri.
Anda boleh memperdebatkan masalah keadilan sosial secara terbuka dan tanpa risiko politis apa un, asal yang dimaksud adalah keadilan sosial dari masyarakat anonim, atau sebaliknya “ketidakadilan sosial di Nairobi,” misalnya. Anda boleh mengecam intervensi Irak ke Kuwait, aal jangan dihubungkan dengan kasus timor timur.
Iklim semacam itu melahirkan generasi kelu dan bisu, karena bapak sejarah mereka tertutup dan ngratu.[][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar