Semua agama mengajarkan kedamaian, namun
akhir-akhir ini sudah dirasa tidak relevan lagi. Ada yang saling mencemoh satu
sama lain, saling membenci sampai permasalahannya dibawa keranah hukum dan lain
sebagainya. Penganut agama yang benar-benar taat akan melakukan cinta kasih
kepada sesama, karena mereka benar-benar tahu isi ajarannya. Misalnya saja Mahatma Gandhi dengan ajaran ahimsanya,
nabi Muhammad dengan uswatun hasanahnya, mereka sangat kental dengan
memberikan kasih sayang kepada manusia.
Indonesia tidak menggunakan Negara
dari salah satu agama - Negara islam atau Negara hindu contohnya - namun Negara
kesatuan Republik Indonesia yang menganut dasar Pancasila yang bersimbol lambang
garuda dan Bhineka tunggal ika, dari beragam agama, ras maupun etnis menjadi
satu tujuan, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan kebudayaan NKRI. Jadi tidak
dibenarkan ketika akan menggunakan Negara Jawa atau Negara sunda dan lain-lain.
Kita lihat saja dinegara-negara
maju, sistem demokrasi yang begitu tertata dan penduduknya bisa makmur dengan
aturan yang diberikan pemerintahnya, tidak rasis. Indonesia mungkin butuh
pengalaman seperti itu, tidak memihak, hukum dan tata aturanpun dijalankan
sesuai kesepakatan yang sudah ditetapkan. Saling menghormati ketika ada salah
satu agama yang merayakan hari besarnya, tidak lantas kita mencoba membenarkan
agama kita sendiri. Kita yakini bahwa hati nurani semua manusia menginginkan
kebahagiaan, bukan pertikaian dan pecah belah, namun pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawablah yang biasanya membuat api cemburu satu sama lain.
Hal-hal yang sering
kita lupa
1. Tidak mengolah
perkataan dari orang, tokoh dalam sosial media.
2. Membenarkan
idiologi pribadi, sehingga yang lain dianggap tidak benar, sesat dan lain
sebagainya.
3. Tidak menggunakan
hati nurani dan ikut marah ketika ada yang menyalahkan, tidak kita ttelusuri
dahulu apakah faktanya seperti itu atau tidak.
4. Kurangnya sharing
dan berbagi bersama tetangga maupun teman-teman yang lain.
5. Kurangnya bercanda
dan ssemuanya dianggap serius.
Memang
fenomena hari ini membawa kita semakin dibingungkan dengan keadaan, contoh saja yang K
mencemooh yang I, dan yang H mengkafirkan yang K dan lain-lain yang semuanya
itu tidak perlu dilakukan, lalu agaimanakah sikap kita seharusnya? Apakah ketika jurnalis
sejati tetap membela negara, agama bahkan dirinya ketika´”diserang” oleh orang
lain?
ketika ada
yang menyebarkan isu-isu yang belum tahu kebenarannya alangkah baiknya sebagai
journalism profeisonal tetap memberitakan kebenaran meskipun itu dirasa pahit, jangan sekali-kali
terbawa arus berita-berita yang hanya mengedepankan sensasional belaka,
kemudian kita ikut-ikutan marah atau sedih selanjutnya kita salah mengambil
sikap dan terjadilah “peperangan” yang tidak diinginkan dengan memakai segala
cara seperti sekarang ini.
Nampaknya kita harus membuka kitab lagi yang berkenaan
dengan kedamaian individu, belajar lagi bagaimana caranya menghormati dan
bagaimana caranya kita menghargai kejujuran orang dengan sikap yang benar pula,
adakah yang belum paham?
Coba kita
lihat seberapa besar dampak media sosial yang “mensucikan” agamanya, hampir 85%
setuju apa yang diakatan tokoh mereka dalam socmed ini, jadi betapa mirisnya ketika ternyata
akun-akun yang didominasi pemuda ini sangat riskan untuk melakukan hal-hal
negati. Sebagai seorang yang terpelajar marilah kita mengarahkan mereka kelajan
positif dengan cara memberitakan yang benar, sesuai fakta.
Mari saling menjaga
perasaan, supaya hidup kita tentram dan tidak saling menyakiti satu sama yang
lain.