Kamis, 04 Juni 2015

PENTINGNYA KERUKUNAN BAGI PEMELUK AGAMA




Semua agama mengajarkan kedamaian, namun akhir-akhir ini sudah dirasa tidak relevan lagi. Ada yang saling mencemoh satu sama lain, saling membenci sampai permasalahannya dibawa keranah hukum dan lain sebagainya. Penganut agama yang benar-benar taat akan melakukan cinta kasih kepada sesama, karena mereka benar-benar tahu isi ajarannya. Misalnya saja Mahatma Gandhi dengan ajaran ahimsanya, nabi Muhammad dengan uswatun hasanahnya, mereka sangat kental dengan memberikan kasih sayang kepada manusia.

                Indonesia tidak menggunakan Negara dari salah satu agama - Negara islam atau Negara hindu contohnya - namun Negara kesatuan Republik Indonesia yang menganut dasar Pancasila yang bersimbol lambang garuda dan Bhineka tunggal ika, dari beragam agama, ras maupun etnis menjadi satu tujuan, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan kebudayaan NKRI. Jadi tidak dibenarkan ketika akan menggunakan Negara Jawa atau Negara sunda dan lain-lain.
                Kita lihat saja dinegara-negara maju, sistem demokrasi yang begitu tertata dan penduduknya bisa makmur dengan aturan yang diberikan pemerintahnya, tidak rasis. Indonesia mungkin butuh pengalaman seperti itu, tidak memihak, hukum dan tata aturanpun dijalankan sesuai kesepakatan yang sudah ditetapkan. Saling menghormati ketika ada salah satu agama yang merayakan hari besarnya, tidak lantas kita mencoba membenarkan agama kita sendiri. Kita yakini bahwa hati nurani semua manusia menginginkan kebahagiaan, bukan pertikaian dan pecah belah, namun pihak-pihak yang tidak bertanggung jawablah yang biasanya membuat api cemburu satu sama lain.
Hal-hal yang sering kita lupa
1. Tidak mengolah perkataan dari orang, tokoh dalam sosial media.
2. Membenarkan idiologi pribadi, sehingga yang lain dianggap tidak benar, sesat dan lain sebagainya.
3. Tidak menggunakan hati nurani dan ikut marah ketika ada yang menyalahkan, tidak kita ttelusuri dahulu apakah faktanya seperti itu atau tidak.
4. Kurangnya sharing dan berbagi bersama tetangga maupun teman-teman yang lain.
5. Kurangnya bercanda dan ssemuanya dianggap serius.

                Memang fenomena hari ini membawa kita semakin dibingungkan dengan keadaan, contoh saja yang K mencemooh yang I, dan yang H mengkafirkan yang K dan lain-lain yang semuanya itu tidak perlu dilakukan, lalu agaimanakah sikap kita seharusnya? Apakah ketika jurnalis sejati tetap membela negara, agama bahkan dirinya ketika´”diserang” oleh orang lain?
                ketika ada yang menyebarkan isu-isu yang belum tahu kebenarannya alangkah baiknya sebagai journalism profeisonal tetap memberitakan kebenaran meskipun itu dirasa pahit, jangan sekali-kali terbawa arus berita-berita yang hanya mengedepankan sensasional belaka, kemudian kita ikut-ikutan marah atau sedih selanjutnya kita salah mengambil sikap dan terjadilah “peperangan” yang tidak diinginkan dengan memakai segala cara seperti sekarang ini. Nampaknya kita harus membuka kitab lagi yang berkenaan dengan kedamaian individu, belajar lagi bagaimana caranya menghormati dan bagaimana caranya kita menghargai kejujuran orang dengan sikap yang benar pula, adakah yang belum paham?
                Coba kita lihat seberapa besar dampak media sosial yang “mensucikan” agamanya, hampir 85% setuju apa yang diakatan tokoh mereka dalam socmed ini, jadi betapa mirisnya ketika ternyata akun-akun yang didominasi pemuda ini sangat riskan untuk melakukan hal-hal negati. Sebagai seorang yang terpelajar marilah kita mengarahkan mereka kelajan positif dengan cara memberitakan yang benar, sesuai fakta.
Mari saling menjaga perasaan, supaya hidup kita tentram dan tidak saling menyakiti satu sama yang lain.