Sabtu, 05 Maret 2016

Agama dan Perubahan Sosial

Agama dan Perubahan Sosial

Agama sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban masa depan untuk manusia. Ia ibarat pelita kecil di sayup-sayup abad ke-21 yang dituntut untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang. Kecemasan para pakar pemerhati sejarah terhadap hampir seluruh evil product bidang-bidang politik, ekonomi, budaya, serta muatan prilaku sejarah umat manusia, akhirnya diacuhkan kepada kemungkinan peran agama.
Tulisan ini sekadar permintaan interupsi sesaat, yang penawaran tesisnya amat bersahaja. Sebaiknya kita tak usah terlalu tergesa memperpanjang-panjang pembicaraan tentang apa yang didorongkan oleh agama terhadap proses perubahan sosial, sebeum kita benahi dulu dasar filosofi, epistemoogi, atu bahkan “sekadar” struktur logika kita dalam memahami agama.
Pada akhirnya ini mungkin “sekadar soal istilah”, tetapi saya tidak bisa berhenti pada anggapan demikian. Saya tidak pernah sanggup mengucapkan kata “agama berperan dalam...“ saya hanya bisa menjumpai agama sebagaimana ayu, atom, biji besi, dedaunan atau anasir alam lainnya: ia tidak bisa menjadi subjek.
Agama harus tidak berasal dari nabi, murd-murid nabi, ulama, ruhaniwan, pujangga, atau jenis cerdik-cendikia macam apa pun. Agama hanya mungkin disebut agama apabila ia sepenuh-penuhnya merupakan hasil karya Tuhan –lepas dari enyataan bahwa kita boleh bertengkar secara metodoogis mengenai bagaimana sesuatu itu absah diangap sebagai hasil karya Tuhan.
Agama hanya mungkin sah disebut agama apabila berasal dari Tuhan, dan bukan kebetulan bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kepada agamauntuk berperan apa pun dalam kehidupan manusia. Yang menerima perintah adalah manusia, dan Tuhan telah memberinya fasilitas-fasilitas untuk menjalankan perintah itu. Sedangkan agama tidak mempunyai akal sebagaimana manusia. Agama tidak akan dimasukkan ke syurga ataupun neraka. Agama adalah makhuk Tuhan yang sama sekali berbeda dari manusia. Agama tidak punya kewajiban, tidak punya hak dan tidak dibebani tangung jawab apa pun.
Dengan logika pemahaman seperti ini seorang ahli tiak mungkin bisa mengatakan –umpamanya- “Agama tidak cukup untuk menangka kenakalan remaja...” yang tidak cukup, dan senantiasa relatif dan polemis, adalah tafsir manusia atas agama.

Manusia sebagai Subjek
Jadi permasalahan ini sangat jauh ebih dari sekadar “soal bahasa” atau “soal istilah”. Dengan demikian, pun, agama bukan hanya tidak bisa berperan apa-apa terhadap proses kemajuan hidup manusia: ia memang sama sekali tidak dilahirkan untuk itu. Manusia subjek yang harus bekerja dan bertangung jawab. Manusia pula yang maju atau mundur. Yang untung atau rugi. Kalau seluruh umat manusia berduyun-duyun meninggalkannya, agama “tenang-tenang saja”, tidak rugi sesuatu apa.
Oleh karena itu kalau harus berbicara tentang agama, saya selalu merasa harus mengambil jarak yang setepat-tepatnya dan sejernih-jernihnya dari pemahaman tentang agama yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Ibu kelahiran ilmu sosial adalah relitas sosial, sedangkan agama bukan kenyataan sosial. Jika ada dimensi dalam realitas sosial yang disebut agama, yang dimaksud sesungguhnya adalah upaya terbatas manusia dalam mewujudkan nilai-nilai yang diambilnya dari agama.
Sedangkan agama itu sendiri, sekali lagi, sama sekali bukan hasil karya manusia, bukan produk kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang berasal dari hasil upaya atau rekayasa manusia, sejauh-jauhnya hanya bisa disebut manifestasi agama.
Agama berbeda dari manifestasi agama, seperti halnya matahari berbeda dengan cahaya matahari, atau seniman berbeda dari karya seni atau dari rahasia ala ruhani yang menjadi sumber lahirnya karya sen.
Dalam hal ini saya sangat terikat oleh common sense: bahwa manusai tidak memiliki otoritas untuk menciptakan agama, memberi nama kepadanya, serta menentukan muatan nilai-nilainya; lepas bahwa kita bisa kekal memperbantahkan metode apa yang paling absahuntuk menentukan apakah suatu firman, umpamanya, itu berasal dari Allah langsung atau tidak.
Katakanlah ini barangkali sekadar sikap pribadi: jika ada agama yang berasal dari manusia, saya tidak akan pernah bersedia menganutnya. Saya tidak percaya pada manusia jenis apapun untuk bisa membimbing saya dalam hal-hal yang menyangkut kebahagiaan, kesejatian, keabadian, dan lain sebagainya.
Akan tetapi kalau saya tidak menggunakan “pengertian agama secara sosiologis” tidak berani saya lantas memakai “pengertian agama menurut agama itu sendiri”. Yang bisa saya pakai hanyalah pemahaman atau tafsir sya atas agama menurut Yang membuat Agama itu sendiri.
Anaoginya brangkali seperti bunyi kokok ayam: apa bunyi kokok ayam? Setiap orang menirukan bunyinya, mereflesikannyaberdasarkan cita rasa dan poa ungkap musikalnya. Aapun bunyi kokok ayam itu ya bunyi kokok ayam: kalau ayam ditanya apa bunyi kokoknya, ia cukup berkokok saja, dan sampai kiamat kita memperdebatkan hasil pendengaran kita atas bunyi kokok syam itu.
Pada level teortis, agama memuat segala sesuatu yang terbaik yang diperukan manusia untuk mengolah tujuan-tujuan hidupnya. Agama menyediakan demokrasi, etos kerja, kearfan, moralitas, serta apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempergaulkan dirinya dengan tanah , tetumbuhan, seluruh unsur alam, sesama manusia, cita-cita kebahagiaan dan kesejahteraan, juga manajemen keadilan, cinta, dan kebenaran.
Namun pada level kesunyatan agama telah dihinakan oleh kebodohan manusia, direduksi oleh kepentingan subjektif manusia, bahkan diubah wajahnya menjadi faktor sejarah yang merepotkan dan menjadi sumber peperangan.
Agama dirancukan dalam organisasi sosial atau gerakan kebudayaan. Tidak sedikit orang berkata, meyakini, dan memperbuat agama, padahal yang dimaksud sesunguhnya adalah sangkaan terhadap sesuatu yang mereka anggap agama.

Menemukan Kehadiran Agama
            Agama bahkan dipersempit menjadi mata kuda politik atau primordialisme formalistik. Keluaran maksimalnya adalah menjadi blunder atau ranjau dalam proses perdamaian dan keadilan. Keluaran minimanya adalah bahwa ia dieksploitasikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan yang sempit dan sepihak dari polarisasi kelompok-keompok dalam sejarah manusia.
Karena keterjajahan politik, ekonomi, da kebudayaan pada sementara bangsa-bangsa Asia, beberapa abad mutakhir ini agama terkikis dan dijadikan sekadar sebagai alat pelarian psikologis, dijadikan simbol dekadansi kultur, sementara perwujudannya di bidang politik terbelah dua: pertamadijadikan pisau fasisme, keduadijadikan legitimasi dan tradisi hipokrisi.
            Islam, misalnya, dimiskinkan –di dalam pemahaman para pemeluknya, tidak di dalam islam itu sendiri- menjadi makhuk yang hampir bertentangan dengan bagaimana Sang Pencipta Islam iu memahami ciptaan-Nya. Pemiskinan itu tidak berlangsung hanya pada level interpretasi, pemaknaan, dan penerjemahan sosiokulturnya, tetapi bahkan berlangsung pada tahap yang paling harfiah. Ada beribu contoh, tapi bahwa arti literer kata “Islam” itu sendiri sudah membias terlalu jauh.
            Di dalam kenyataan sejarah, tatkala alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengaami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama, pertanyaan-pertanyaanyang kita ajukan biasanya mengandaikan bahwa agama adalah sebuah “kotak” yang disepadankan esensi, eksistensi, dan fungsinya dengan, umpamanya, “kotak-kotak” lain yang bernama kekuatan ekonomi-politik, akumulasi kapital, investasi, dan eksploitasi sumber daya alam. Kita lantas mengasumsikan bahwa faktor ekonomi dan politik adalah kekuatan yang kita anggap paling progresifdalam mendorong perubahan-perubahan zaman. Kemudian kita melakukan komparasi dan berkesimpulan bahwa agama hanya kekuatan marginal
            Kita emahami, ekonomi, politik, dan agama sebagaimana kita memilah kacang, kedelai, dan jagung. Ilmu sosial melihat bahwa ada sebuah “rumah” kehidupan dengan bilik politik, bilik agama, bilik, kultur, bilik huku, bilik ekologi, dan seterusnya. Agama tidak dipandang sebagai tawaran nilai-nilai semacam muatan untuk bati (ruhani dan intelek) untuk ditolak atau dipakai oleh penghuni “rumah tersebut, serta memberinya gagasan bagaimana memperlakukan atau mengatur bilik-bilik tersebut.
            Saya kira akan tiba zaman dimana orang tidak lagi mengatakan bahwa “bercocok tanam itu ertanian, shalat itu agama”: pemahaman seperti itu telah memasuki ambang dekadensinya.
            Jika seseorang menanam pohon, menyraminya dan memelihara kesuburan tanahnya –perbuatan itu didorong oleh salah satu muatan yang dikandung agama, atau bersifat religius- terepas dari apakah orang tersebut menyadarinya atau tdak, mengakuinya atau tidak, menyebutnya demikian atau tidak.
            Agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol. Rius dan simbol adalah ungkapan budaya atas ruhani muatan agama. Sebagaiana kata-kata bukanlah puisi, kata-kata hanya alat untuk mengantarkan puisi. Alat atau bahasa mengungkap puisi sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan puisi itu sendiri.
            Agama ditemukan orang kehadirannya tatkala mencangkul tanah dengan ketakjuban kepada keagungan Allah. Ketika menatapi hutan belantara, keremangan senja dan hamparan bintang-bintang, dengan kekaguman kepada daya keindahan-Nya, ketika berdagang dalam kesadaran akan titik pusat hidup yang bernama Allah. Juga ketika menjalankan politik, ekonomi, hukum, organisasi, gerakan teknokrasi, negara, klub, laboratorium, proyek-proyek, memancing, berolah raga, bersenggama, dan apa saja, dengan keberangkatan dan orientasi titik pusat itu.dengan demikian, saya tidak bisa memakai suatu kerangka keilmuan yang menyebut, misalnya, faktor ekonomi dan politik dalah nonagama. Yang hidup dalam pengertian saya: apakah berpolitik, berekonomi, bersuami-istri, dan lain sebagainya adalah agama atau tidak.
            Sangat sederhana.[][1]




[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar