Sabtu, 05 Maret 2016

Jomblo aksesoris atau ideologis?

Jomblo aksesoris atau ideologis?1

Seperti hal pada umumnya, jomblo seperti kutukan bagi yang sudah akut, dan sebagai cobaan bagi yang masih bisa diselamatkan.
Seperti kisah ini, dulu di negara marang, ada satu pemuda tampan bernama mastola, wajahnya yang kuning langsat cerah, hidungnya yang tawassut (tidak mancung, tak juga pesek), dahinya yang meruncing, tubuhnya lumayan kekar karena sering membantu orang tuanya jualan. Itu standarisasi kegantengan negara marang.
Mastola umurnya sudah 25 tahun, sudah dewasa dan matang bahkan mapan. Banyak gadis desa merubuti mencari perhatian supaya dipinang olehnya. Namun sikap mastola kepada gegadis seperti kurang respek, tentunya bukan karena tidak suka kepada wanita atau tidak ingin menikah, tapi karena ingin melayankan hidupnya kepada orang tuanya. "mumpung masih mampu" gumamnya dalam hati.
Disebelah desanya ada satu pemuda juga bernama masdar, umurnya tidak jauh dari mastola beda 1 tahun dibawahnya, unda-undi. Masdar ini lebih kekar tubuhnya dibanding mastola.
Ada juga Mardiah anak seorang pamong yang telah menamatkan muallimatnya di sekolah agama ki Agsur, sambil meneteng syahadah (sekarang berkembang menjadi ijazah), ia berjalan tersenyum karena baru saja diwisuda. Ditengah jalan, ia bertemu dengan mastola yang membawa keranjang belanja milik ibunya.
Mastola menyapa lebih dulu, "Mbak mardi darimana?",membuka percakapan. "Dari rumah ki agsur kang" wajahnya bersembunyi di balik kerudung kebayanya.
Pertemuan itu bukan pertama kali, namun sapaan itu dan saling melirik barulah pertama kalinya. Sering bertemu, ketika pagi mastola belanja, mardiah sedang menyapu atau bertemu dipasar bersama ibunya.
Sudah lama ternyata mastola mengidamkan gadis yang anggun lagi baik, sering mencuri berita dari tetangga yang terkadang nyinggung nama mardiah. Perkenalan yang resmi pun tak pernah, namun keduanya punya informasi mengenai mastola ataupun mardiah.
Berkali-kali pemuda desa datang melamar, namun mardiah menolaknya dengan alasan ingin lulus dari sekolahnya. Ternyata tambatan hatinya ke mastola.
Masdar yang bekerja sebagai petani sekaligus mengajar anak-anak dimusholla depan rumahnya pun sebenarnya suka dengan mardiah, gadis 23 tahun yang sering disebut banyak orang. Tak lama berselang, masdar memberanikan diri untuk berkenalan (sekarang berubah menjadi taaruf), dengan membawa pisang satu tundun dan sayur-mayur hasil sawahnya, dia datang kerumah mardiah.
Sesampainya disana, disambut oleh ramanya seorang pamong desa. “eh mas masdar, silahkan masuk. Gimana kabar keluarga?” pertanyaannya beruntun.
Belum sempet menjawab, pak pamong menyuruh mardiah untuk membikin kan teh untuk dia dan tamunya. Tak tahu alasan apa, tapi karena pak pamong menghormati orangtuanya masdar karena sopan dan tajir.
“gimana taninya mas, lancar?” tanyanya kembali. “alhamdulillah lancar pak”. Jawabnya singkat.
Mereka  terlibat diolog hangat dan sesekali menyinggung urusan perjodohan karena pak pamong sudah tidak sabar untuk acara mantu.
Sementara dibelakang, mardiah menguping pembicaraan mereka berdua.
“si mardiah itu lho, sekarang sudah lulus, kemaren ada dua pemuda melamar dia tapi saya tolak.”
“Kenapa pak?”
“karena sudah saya persiapkan buat sampean”. Katanya yang menjurus kearah serius.
Mardiah begitu bingung dengan pernyataan bapaknya yang tidak memberitahu dulu sebelumnya.
Dengan wajah sedih, dia teringat mastola yang begitu ramah dan hangat kepada semua orang, batinnya berbisi “mas, nikahi aku secepatnya atau kau akan kehilangan aku selamanya”.


 1.kata tepat yang mempresentasikan sikap asmara seorang sibuk-iyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar