Jomblo
aksesoris atau ideologis?1
Seperti hal pada umumnya, jomblo seperti kutukan
bagi yang sudah akut, dan sebagai cobaan bagi yang masih bisa diselamatkan.
Seperti kisah ini, dulu di negara marang, ada satu
pemuda tampan bernama mastola, wajahnya yang kuning langsat cerah, hidungnya
yang tawassut (tidak mancung, tak juga pesek), dahinya yang meruncing, tubuhnya
lumayan kekar karena sering membantu orang tuanya jualan. Itu standarisasi
kegantengan negara marang.
Mastola umurnya sudah 25 tahun, sudah dewasa dan
matang bahkan mapan. Banyak gadis desa merubuti mencari perhatian supaya
dipinang olehnya. Namun sikap mastola kepada gegadis seperti kurang respek,
tentunya bukan karena tidak suka kepada wanita atau tidak ingin menikah, tapi
karena ingin melayankan hidupnya kepada orang tuanya. "mumpung masih
mampu" gumamnya dalam hati.
Disebelah desanya ada satu pemuda juga bernama
masdar, umurnya tidak jauh dari mastola beda 1 tahun dibawahnya, unda-undi.
Masdar ini lebih kekar tubuhnya dibanding mastola.
Ada juga Mardiah anak seorang pamong yang telah
menamatkan muallimatnya di sekolah agama ki Agsur, sambil meneteng syahadah
(sekarang berkembang menjadi ijazah), ia berjalan tersenyum karena baru saja
diwisuda. Ditengah jalan, ia bertemu dengan mastola yang membawa keranjang
belanja milik ibunya.
Mastola menyapa lebih dulu, "Mbak mardi
darimana?",membuka percakapan. "Dari rumah ki agsur kang"
wajahnya bersembunyi di balik kerudung kebayanya.
Pertemuan itu bukan pertama kali, namun sapaan itu
dan saling melirik barulah pertama kalinya. Sering bertemu, ketika pagi mastola
belanja, mardiah sedang menyapu atau bertemu dipasar bersama ibunya.
Sudah lama ternyata mastola mengidamkan gadis yang
anggun lagi baik, sering mencuri berita dari tetangga yang terkadang nyinggung nama
mardiah. Perkenalan yang resmi pun tak pernah, namun keduanya punya informasi
mengenai mastola ataupun mardiah.
Berkali-kali pemuda desa datang melamar, namun
mardiah menolaknya dengan alasan ingin lulus dari sekolahnya. Ternyata tambatan
hatinya ke mastola.
Masdar yang bekerja sebagai petani sekaligus
mengajar anak-anak dimusholla depan rumahnya pun sebenarnya suka dengan
mardiah, gadis 23 tahun yang sering disebut banyak orang. Tak lama berselang,
masdar memberanikan diri untuk berkenalan (sekarang berubah menjadi taaruf),
dengan membawa pisang satu tundun dan sayur-mayur hasil sawahnya, dia datang
kerumah mardiah.
Sesampainya disana, disambut oleh ramanya seorang
pamong desa. “eh mas masdar,
silahkan masuk. Gimana kabar keluarga?” pertanyaannya beruntun.
Belum sempet
menjawab, pak pamong menyuruh mardiah untuk membikin kan teh untuk dia dan
tamunya. Tak tahu alasan
apa, tapi karena pak pamong menghormati orangtuanya masdar karena sopan dan
tajir.
“gimana taninya mas, lancar?”
tanyanya kembali. “alhamdulillah lancar pak”. Jawabnya singkat.
Mereka terlibat diolog hangat dan sesekali
menyinggung urusan perjodohan karena pak pamong sudah tidak sabar untuk acara
mantu.
Sementara dibelakang, mardiah
menguping pembicaraan mereka berdua.
“si mardiah itu lho, sekarang sudah
lulus, kemaren ada dua pemuda melamar dia tapi saya tolak.”
“Kenapa pak?”
“karena sudah saya persiapkan buat
sampean”. Katanya yang menjurus kearah serius.
Mardiah begitu bingung dengan pernyataan bapaknya yang tidak memberitahu dulu
sebelumnya.
Dengan wajah sedih, dia teringat
mastola yang begitu ramah dan hangat kepada semua orang, batinnya berbisi “mas,
nikahi aku secepatnya atau kau akan kehilangan aku selamanya”.
1.kata tepat yang mempresentasikan sikap asmara seorang sibuk-iyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar