Rabu, 13 Januari 2016

Jatinegara pasarku, pasar kamu juga, kan?

Pasar buah-sayur Jatinegara, Jaktim 10 Januari 2016.
Kuliah memang asik, karena selain nuntut pengetahuan yang belum kita dapet, bisa juga nyawang (kerjaannya jomblo) tentu dengan berbagai modus, bisa dengan sok cool didepan lawan jenis maupun sesame jenisnya, bisa juga kelihatan pintar dan selalu bertanya maupun menjawab, apa saja yang ditanyakan temen kelasnya, duduk didepan dan manggut-manggut tanda dosen berhasil menjalankan misinya. Atau ada juga yang masih suka dengan gayanya sendiri yang memang dibawa dari sana (alam ruh).
Ini bukan prasangka buruk lho ya, apalagi menyangka saya ingin merusak citra mahasiswa sang agen perubahan yang mempunyai kunci pembangunan nasional dalam saku celananya, wong saya juga mahasiswa. Heheu
Minggu-minggu ini saya dirundung penyakit lemestak bertenaga dan suka ngantukan, padahal sebelumnya semangat yang menjulang tingi saya masukkan kedalam tubuh. Dari jalan kaki beberapa kilometer, tidur ditempat yang tak terduga dan lapar sampai melilit alias kelaparan.
Sore ini, saya pengin mengembalikan semangat itu dengan belajar berjalan lagi ‘titah’, ngeluyur dari mangarai tiba-tiba kereta berbenti satu stasiun di jatinegara. Wah disini masih jaman purba, jaman batu, (padahal berbulan-bulan jaman ini sudah menyurut, drastis!). Melihat-lihat mesin penggiling batu yang banyak membuat irama pasar batu ini masih kental. Ternyata juga ada beberapa pedagang yang menjual barang-barang kuno, kayu-kayu penghias ruangan dan lain sebagainya.
Sebenarnya saya sudah 2 kali ini kesini, yang pertama bulan lalu tidak sengaja menemukan ‘pipa’ (alat bantu pengisap rokok) pun berbagai macam, kayu, batu, ukiran, sirip ikan sampai plastik yang dibikin seperti tanduk rusa, dan sangat murah haganya dibandingkan kalau kita nyari ikan pari dan motong siripnya.
Beberapa kali muter-muter tidak juga ketemu penjualnya, teryata sudah tutup.
Keluar dengan (hanya) kepuasan melihat batu, dilanjut jalan ke pasar tradisionalnya, nah baru sampai disana pedagang seakan tak rela dagangannya dibeli (wong wakunya tutup dan berkemas kemudian memberikan waktu sepenuhnya untuk keluarga), saya lihat ada beberapa pedagang yang masih menggelar barangnya, dan itu di deretan sayuran dan buah-buahan. Fuihhh, lelah dan panasnya badan diredam dengan hehijauan dan kuningan buah.
Mampirku ke penjual pisang sebenarnya hanya ingin berinteraksi dan ngecek harga saja, eh malah buru-buru dibungkus.
“Ini berapa pak?” Telisikku.
“15 satu rip.” (satu baris)
“Mahal pak, 20 dapat 2 gimana?”
“Boleh”. (buru-buru dibungkus)
Bingungnya, uang cashku hanya 16 ribu ko.
“Ya sudah, nanti dulu pak, kalau jadi beli saya kesini lagi”.
“Okay”.
Jalan 100 meter dihadang aa sunda penjual mie dan gorengan, kini saya mampir dan memberanikan diri mesen mie karena tek itung-itung uangnya masih lebih. Setelah makan 2 gorengan dan mie rebus+telor yang saya nikmati betul-betul, saya kembeli ketempat pisang karena uangku tak sampai 20 ribu dan mau menegaskan bahwa sesungguhnya saya tidak jadi beli.
Kulihat-lihat tidak ada yang penjualnya, hanya bebepa temennya saja dan kutitipkan omonganku kemereka untuk ketidakjadianku ini.
Langkah kakiku kuayunkan kedepan tanpa menengok kebelakang, bukan karena malu tak punya uang tapi grimis yang kini beranjak dewasa. langkah-langkahku menyadarkan bahwa saya telah melakukan hal yang sederhana dan penting lho. Ketika memang sudah janji, sepahit kopimupun harusnya ditepati. Tak peduli dengan siapa atau dengan apa yang kamu anggap tidak penting dan kamu anggap tidak ada apa-apanya.

Dengan-Nya pun kamu masih ingkar?