Romantisme Gunung Sindoro
Catatan pendakian puncak Sindoro
Karpet
hijau terhampar luas diruang tamu, suasana pagi yang sangat dingin membuatku
ingin terus selimutan, ditambah aku baru sampai tieng, kejajar, wonosobo jam 12
malam. Rencananya hari ini aku akan muncak ke Sindoro, temanggung dengan
temanku yang berangkat dari semarang.
Imam Farouk, Tieng, Wonosobo |
Begitu
sudah agak pagi aku bangun, mandi, lalu sarapan ditambah ngobrol-ngobrol ringan
nan mbully, dan selang sangat lama barulah pamit untuk melanjutkan perjalanan
berikutnya. Di Wonosobo ini, temenku seorang kutu buku, bertumpuk-tumpuk buku
entah dari mana tertata dikamarnya yang minimalis itu, sakin sayangnya sama
bukunya itu, bahkan aku pinjam 1 buku saja belum boleh.
Keluar
dari rumahnya, kami menuju basecamp sindoro via Tambi saat itu sudah jam 11
siang, sampai disana katanya belum ada yang naik. “biasanya sorean mas, dari
pagi belum ada” ucap ibu penjaga basecamp.
Jalur tambi memang belum lama dibuka, dan menurut info jalur ini lebih susah tapi agak cepat (mungkin tracknya selalu nanjak), kamipun kebasecamp yang di kledung, Temanggung untuk ngecek, butuh sekitar 2 jam untuk sampai kesana. Setibanya, kami melakukan registrasi serta ngecek perlengkapan.
Lain
di Tambi, disini sudah ramai motor yang parkir memenuhi gedung (kantor
kelurahan desa Kledung, yang sekaligus menjadi) basecamp Sindoro. Setelah ganti
costum dan belanja logistik yang diperlukan, seperti air yang cukup, gula jawa,
kopi, madu (untuk dopping-an) roti basah, mie instan, makanan ringan, juga
obat-obatan pribadi, seperti salonpas, freshcare, hansaplast, da tak
ketinggalan rokok kretek, barulah packing.
Rute Sindoro via kledung |
Setelah
selesai, aku memimpin do’a keselamatan agar berangkat dan pulang dalam keadaan
sehat. Oh iya, temenku ini fathuddin, dia mahasiswa UIN Walisongo semester
akhir, jadi banyak waktu kosongnya, “ayo, aku sekarang sering kosong” begitu
jawabnya ketika aku tawari muncak.
Para pembaca yang dikasih sayangi Tuhan, dia teman akrab saat di pesantren dulu, jadi jangan ada prasangka tak baik tentang kata-kata ‘sering kosong’ itu.
Waktu menunjukan jam 3 lebih sore hari, kami berjalan pelan-pelan cuaca hari ini agak mendung, dari luar basecamp sudah terasa gerimis romantis yang tak membasahi wajah. Sampai dirumah penduduk terakhir, gerimis itu menjelma, menambah jumlah kawannya, kami ikut berteduh disana. Aku juga baru sadar, ternyata kami tidak membawa jas hujan (mantel), dengan gugup aku turun lagi kebawah untuk membelinya.
Kami melanjutkan perjalanan yang ditemani gerimis, menambah rasa romantisme alam yang menyuguhkan tumbuhan tembakau hijau. Digubuk petani tengah-tengah lahan, ada beberapa pendaki juga sedang berteduh, kami tetap melanjutkan, hanya tukar sapa saja. Batu-batu yang ditata rapi juga mempermdah peralanan.
Jalan
batu rapi itu melintas disepanjang ladang penduduk, ditenah-tengah ada satu
batu besar, mungkin batu yang menggelinding dari atas atau sudah ada dari dulu
disitu.
Memakan waktu 1 (satu) jam lebih untuk sampai di pos 1 (1.600 Mdpl), disitu sudah banyak orang yang sedang istirahat, mereka sudah dalam perjalanan pulang aku tahu dari tutur sapa yang kami lakukan, digubuk depannya ada beberapa tukang ojek yang siap mengantarkannya ke basecamp (jasa ojek dari pos 1-basecamp atau sebaliknya 20-25 ribu).
Kami melanjutkan setelah menghabiskan 1 batang rokok dan minum secukupnya. Di pos 1 hanya terdapat 1 gubuk besar dan kokoh, satu lagi gubuk kecil nan rentan.
Dari
pos 1, jalan tidak lagi dengan batu kali ini semuanya tanah dan sudah mulai
memasuki hutan lebat Temanggung, namun untuk tracknya belum cukup sulit. Kami
hanya berhenti beberapa saat untuk hanya minum dan saat itu tak banyak
menemukan pendaki yang turun ataupun naik.
Sampai
di pos 2 (2120 Mdpl), gema suara adzan maghrib menghampiri telinga, kita
istirahat sekaligus shalat menghormati waktu. Cukup lama duduk-duduk di pos 2 untuk
memulihkan stamina, air putih dan gula jwa menjadi asupan baru penambah daya.
Foto diambil dari google.com |
Baru
berdiri dari tempat duduk (gelontrongan panjang pohon sebesar kaki manusia yang
membuat huruf L) kami bertemu 2 pendaki yang sedang turun dan akan beristirahat
di pos dua, pada pos ini terdapat pula satu gubuk kecil rentan. Kami tukar sapa
basa-basi menanyakan info keadaan diatas.
Berlanjut dari pos 2, hutan semakin lebat ditambah matahari tak bisa menemani hari lagi. Disitu kami mulai menyalakan headlight secara bergantian untuk menghemat daya listrik. Perlahan dan sangat pelan langkah kaki kami dalam berjalan, karena semak belukar dantracknya yang sulit membuat kami cepat kehabisan stamina, untunglah madu dan gula jawa menjadi dorongan da setia menemani.
Belum ada seperempat perjalanan dar pos 2 ke pos 3, gerimis mulai besar lagi. Jas hujan yang dari pos 1 kami lepas kini mulai dipakai lagi untuk melindungi tubuh dan barang bawaan terlebih barang pribadi dan elektronik.
Dari sana juga sudah mulai tercium bau belerang, sehingga mengajak kami utuk memasang masker juga, hingga sampai di setengah perjalanan itu, headlight yang kita pakai sudah mulai redup akibat terus menerus di nyalakan. Dengan penerangan seadanya secara bergantian, jalan pelan dan sering istirahat adalah satu hal yang perlu ditempuh.
Medan yang sulit ini menyulitkan kami, karena bebatuan yang cukup licin akibat jalan air dan tinggi-tinggi ini memaksa kami untuk melompat-lompat dengan beban carier yang masih menmpel dipundak kami. Dengan pelan dan santai, itu semua terlewati. Satu kali kami ngaso dan opat (panggilan dari fathuddin) makan roti karena sudah “lapar banget” katanya, dan roti itu baru aku kasih setelah dia minta mulai dari pos 1.
Ini bukan unsure kesengajaan, akan tetapi makan disaat yang tepat adalah hal yang patut diperhitngkan juga bagi pendaki agar tidak kebanyakan makan lalu susah saat mau buang air besar.
Di
hutan lidung ini, kami menemukan beberapa pendaki yang turun dan satu rombongan
pendaki yang naik. Sampai 2 jam lebih barulah terlihat pos 3, suara pendaki
lain dan sorotan beberapa lampu dari pos 3 membuat kelegaan dalam angan.
Akhirnya,
memang bukan PHP da benar ternyata pos 3 sudah ada di depan mata. Setibanya di
pos 3 (2530 Mdpl), kami langsung mencari tempat untuk mendirikan camp (tenda).
Padang luas di pos 3 sudah dipenuhi camp para pendaki yang lain, hingga memaksa
kami untuk terus ke atas mencari tempat yang pas mendirikan tenda.
Ada satu hamparan tanah seluas kasur lantai dan miring sebelah kiri jalan,
disitu kami mulai mendirikan. Kami membuka jas hujan untuk mempercepat gerakan
pendirian camp, namun gerimis masih saja turun membawa teman-temannya akibatnya
tubuh kami menggigil sambil mendirikan camp.
Ada
satu kendala dengan tenda kami, satu tongkatnya patah sehingga tidak sekuat
seperti biasanya. Aku usahakan untuk menyambung dan akhirnya bisa walaupun
terlihat miring dan agak retak. 10 menit lebih tenda berdiri dan tanpa berpikir
lama, kami ganti pakaian dan cepat-cepat masak air.
Setalah makan, ngopi dan menghabiskan beberapa batang kretek, opat curhat tentang ceweknya. Yang aku tangkap dari pidatonya yang panjang adalah bahwa dia naik tak hanya membawa beban carier (tas gunung) tapi juga beban ketahuan selingkuh. Modyaar!!! Pantesan saja sejak dari basecamp susah sekali untuk seyum. Aku sarankan untuk bikin puisi yang romantis supaya bisa dimaafkan.
Eh benar sekali, dia nyuruh aku bikin puisi. Aku tak jago merajut kata-kata, tapi ya sitik-sitik bisa lah. Waktu menunjukan jam 10 lebih malam hari, aku meluruskan tulang-tulang dan pundak tempat bersandar carier.
Jam 2:32 aku terbangun karena ada suara pendaki lain yang sedang mendirikan camp pas disampingku, tapi aku paksakan untuk terus tidur saja walaupun akhirnya hanya bisa tiduran.
Alarm
berdenting jam 3:30, aku bangun dan masak air untuk bikin kopi. Selama -30
menit kami sarapan.
Ada 3 rombongan yang bersama-sama naik ke summit, salah satunya anak purwodadi yang hanya sendirian roti dan kopi, akhirnya aku melihat rombongan yang sedang naik kepuncak dari pos 3 juga. karena temannya hanya sampai pos 1. Memang begitu, naik gunung tdak semudah yang kita kira merasakan kopi yang begitu ceat dingin, bertemu teman-teman dari luar daerah, dan bisa foto dipuncak, tidak. Karena yang dibutuhkan adalah bagaimana bisa menikmati perjalanan (tidak kesusu sampai puncak).
Sekitar 2 jam perjalanan kami disuguhi hutan gundul Lamtoro, bebatuan cadas yang tajam, kemudian Lamtoro lagi. Barulah keluar dari situ terlihat padang edelweiss yang cantik, seindah kamu. Baru jalan beberapa langkah dari padang edelweiss, aku bertemu dengan pendaki lain yang baru turun dari puncak yang kekurangan logistik.
“Mas,
boleh minta snacknya?”
“Boleh”
jawabku sambil membuka carier yang hanya kuisi dengan air satu botol, roti, dan
mie instan. Aku kasih rotinya. Ternyata ada 2 lagi temannya yang sama-sama
kehabisan logistik, aku tawarkan ke mereka juga sambil istirahat dan ngobrol
sedikit.
Kami
naik bareng dengan anak purwodadi, si penakluk sumbing dan ketemu lagi sama
anak 3 anak sumatera yang salah satunya kuliah di UIN Jogja. Sepanjang
perjalanan sibuk bercanda seperti kenal sudah lama, sebeum sampai puncak ketemu
dengan ‘mbah misterius’.
Pasalnya,
mbah ini mendaki dari jam 10 malam dan sampai puncak jam 6 pagi kemudian
langsung turun lagi tanpa ngecamp dari basecamp-puncak pp, beliau baru turun.
Kami sempat foto bersama dan minta do’a supaya selamat sampai puncak hingga
pulang ke kosan.
“Kuncine kue yo pasrah karo gusti allah, nikmati perjalanan terus ojo neko-neko” jawabnya saat kita tanya bareng-bareng rahasia sampai puncak. Kemudian kita salaman dan melanjutkan perjalanan.
Sedang berjalan keatas ketemu rombongan cah-cah mBantul yang lebih gokil, kali ini kami dan rombongan bareng terus sampai puncak. Salah satu orang dari rombongan tersebut ada yang dipangil ‘mbah’, tak tahu maksudnya, namun si mbah rombongan ini tukang foto dan tukang bawa yang berat-berat, padahal kalau aku taksir dibanding semuanya mbah ini usianya paling tua.
Kira-kira
50 meter dibawah summit, asap
belerenag sangat terasa sampai membuat sesak nafas. Dengan menempelkan salonpas
dihidung dan masker yang cukup tebal, anak purwodadi sudah sampai atas duluan.
Padahal ada beberapa anak yang bilang bahwa tidak boleh naik sampai atas,
karena kabut asap yang mengandung belerang tersebut akan membahayakan.
Kami
tetap melanjutkan perjalanan karena tujuan kita memang sampai puncak barang
sebentar. Sesampainya disana, sudah ada 3 rombongan saja rombonganku dengan
fathuddin, cah-cah mBantul, dan Pendaki gunung Pemuda/i GKI. Diawali dengan
rasa syukur yang sangat besar kepada sang pencipta, puncak. Dengan semangat
yang menggebu-gebu beberapa anak meneriakkan nama orang-orang yang tersayang,
entah ibu, ayah, pacar atau siapapun.
Aku
hanya tersenyum melihat keindahan ciptaannya, setelah itu barulah foto-foto
tulisan untuk wanita dan organisasi yang sedang aku geluti. Kira-kira 5 menit
diatas, beberapa anak mengalami batuk ringan, aku piker ini hanya batuk biasa,
namun belerang yang masuk ternyata membuatku semakin sesak saja. Setelah
semuarombongan foto dengan gaya masing-masing, aku teriak minta foto bersama
sebagai momentum pengabadian.
Ada
5 jepretan foto yang dilakoni oleh si mbah asli mBantul itu, kemudian dua kali
aku yang moto. Setelah itu aku pamit untuk turun duluan dan ketemu lagi di camp
pos 3. Ada rasa bahagia yang menghilangkan kelelahan setelah sampai puncak.
50
meter turun dari summit, ketemu lagi
dengan anak sumatera dan ternyata mereka tidak mampu sampai puncak mungkin
karena asap beerang yang menyengat hidung, kamipun turun bersama. Dalam
perjalanan menuju camp pos 3, ketemu banyak rombongan yang akan naik maupun
turun, karena itu antre dalam perjalanan hingga dekat dengan pos 3, kami
bertemu dengan ‘mbah misterius’ itu lagi sedang istirahat.
Saat
itu dibelakangnya antre turun sampai ada 20 orang-an, dengan macam-macam
basa-basi dan penawaran logistic, mbah itu tetap saja menolak. “saya biasa naik
gunung tanpa makan dan minum” katanya. Namun beberapa pendaki tak tega dan
tetap memaksa untuk memberikan minuman, satu pendaki dari Depok memberkan
nutrisari yang sudah dilarutkan dengan air, dan sedikit permen.
Aku
menawarkan gula jawa yang memang masing banyak untuk persediaan dopingan turun
juga. “Mbah, bade gendis jawi? (mbah, mau gula jawa?)”, “nah, dulu pendaki ya
hanya sangu air sama ini (gula jawa)” ucapnya serasa makan sedikit dari gula
jawa itu.
Dengan
menunggu beberapa menit, berharap bisa turun bersama-sama, kami tidak diijinkan
untuk menemani. “sudah kalian duluan saja, saya biasa istirahat lama. Saya mau
tidur dulu barang 30 menit”. Akhirnya beberapa anak yang sempat menunggu turun
juga, hanya ada 1 anak yang setia menemani sampai di pos 3, mungkin juga sampai
basecamp.
Setelah
satu jam perjalanan turun dari summit (puncak)
akhirnya kami sampai di sunrise camp. Tempat
camp tidak jauh dari pos 3, karena dari kemarin ada 250 lebih pendaki yang naik
malam mingu dan kemungkinan besar pos 3 penuh, maka tempat kedua adalah sunrise
camp.
Disini
ada pedagang makanan ringan, seperti mie istan dan roti kering, namanya mbah
kuat. Mbah kuat ini akan turun seminggu sekali untuk membawa dagangannya lagi
keatas, sebelumnya memang berada di gubuk pos 3, namun hari itu sudah ditempati
oleh temannya yaitu mbah banar yang sama-sama jual makanan kecil, namun mbah
banar juga menjual mendoan.
Mbah kuat dengan dagangannya |
Fathudin, mbah kuat, saya, dan anak solo |
Dirasa
cukup, kami ke pos 3 untuk istirahat barang sebentar dan beres-beres camp. Barulah
memasak sisa logistik yang kami bawa dan nyeduh kopi untuk diperjalanan turun
nanti. Lagi enaknya masak mie instan, ada satu pendaki yang nongol kedalam
tenda kami, “mas, ini.” Sambil menyerahkan mie gelas. Aku kira sampah, ternyata
masih ada dan kami menyukuri dengan cara memasaknya.
Setelah
makan selesai, bongkar tenda dan kembali berdo’a perjalanan pulang, kami mencari
si mbah dari mBantul, yang bareng di puncak pagi tadi. Tidak banyak waktu yang
kami gunakan untuk mencari si mbah, setelah ketemu dan bertukar Bluetooth kami
pamit melanjutkan perjalanan.
Perjalanan
turun memang sangat asyik, karena selain membawa bahagia dari atas, aku juga
merasakan akan bertemu rumah. Turun dari pos 3 bareng-bareng dengan beberapa
rombongan, saling canda dan ngejek satu sama lain itu hal yang lumrah, asal
tidak kebablasan (bisa ngerem). Medan yang semalam kami lalui, kini tertapak lagi.
Meter demi meter tanah seakan tidak rela ditinggalkan. Medan yang semakin
mudah, membuat perjalanan sangat asyik.
Setengah perjalanan dari pos 3, kami bertemu dengan 3 orang yang sedang istirahat sambil ngrokok, sedagkan kami lewat saja dengan permisi. Sebenarnya tidak terlalu lama untuk perjalanan pulang, hanya saja antre bareng pendaki lain yang sama-sama turun. sebelum tiba dipos 2, kami mendapati 3 orang pendaki tadi di belakang kami.
Aku ngajak bercanda sepanjang jalan dan mereka welcome, sangat asyik yang begini. Ketiganya orang karanganyar, Solo. Kalau mereka pendaki beneran, anak gunung lawu, begitupun sepanjang perjalanan ngorol gunung lawu. Yang satu namanya mas tri, yang 2 aku tidak tanya aku ngobrol banyak dengan mas tri ini. “Kemaren juga tayang di Trans7 lho mas, tentang misteri Lawu. Seperti adanya kebakaran hutan, pasar dieng (pasar setan)”. Mas tri memulai.
“lha
itu ceritanya gimana mas?” tanyaku memburu.
“Kalau
yang kebakaran, kemaren juga ada korbannya kena timbunan api. Tapi cerita orang
selamat, katanya pas kebakaran apinya itu ada diatas. Nah dia sedang jalan
terus apinya hanya melintas menyambar hutan sampingnya kemudian dia lari sampai
basecamp pingsan. Kalau pasar dieng (begitu kita menyebutnya) itu ada diatas
deket puncak, katanya ada suara ‘bade tumbas nopo mas/mbak?’ (mau beli apa
mas/mbak?), nah disitu kamu harus ngasih uang seberapapun nilainya kemudian
ngambil batu atau daun yang disitu ya layaknya orang jual-beli”.
“Ada
juga gerbang masuk dunia lain, mas tri melanjutkan. Jadi itu hanya berbentuk
gerbang tapi yang tahu atau yang bisa melihat dunia lain, itu bisa masuk”.
“jadi,
kalau orang biasa tidak bisa lihat ya mas”. Tanyaku lagi.
“tidak
mesti juga mas, saat itu ada satu pendaki sedang turun yang dibawa sama 7
emak-emak, ya pakaiannya seperti emak-emak pake kebaya terus gelungan
(selendang yang dibuat kerudung) , nah pendaki ini diajak masuk dengan ajakan
bahasa jawa “ayo mas melu kulo (ayok mas, ikut saya)”. Dia ikutin saja sampai
bawah, nah sampe bawah ternyata diatas sedang kebakaran hutan, Alhamdulillah
dia selamat” begitu ceritanya.
Aku dan opat yang terus kepo, sangat terhibur dengan cerita-cerita nyata tentang lawu,
“jadi
tertarik untuk ke lawu pet”,
“ayo
mas menjat lawu” sambung mas tri.
“Wah,
kapan-kapan mas :D”
“saat
tujuh belasan kemaren, malah ada 3000 pendaki via cemoro sewu (karanganyar) dan
500 pendaki dari cemor sewu (jawa timur) jadi totol dipuncak ada 3.500 orang.”
Lajut mas tri
“itu
tidak over load ya mas, hehee” kujawab dengan bercanda.
Sampai
di pos 2, kami bertemu lagi dengan rombongan cah mBantul. Ternyata mereka tidak
jauh dibelakangku. Diitu juga sempat saling melempar candaan. Akhirnya kami
turun bersama menuju pos 1. Dari pos 2 ini, jalannya memang mudah, tidak
seperti diatas, sudah agak rata dan sedikit batu-batuan. Bahkan sebelum sampai
dipos 1, dijalanan yang agak rata terdapat jasa ojek juga.
Kami kehilangan mas tri dan rombongan dari mBantul yang jalannya tanpa istirahat dan bisa nyalip pendaki lain, kami hanya bareng sama satu temennya mas tri yang kakinya terkilir dan ikut ngojek. Sampai pos 1, sudah banyak tukang oejk yang ngantri kaena memang ini waktunya turun. jam sudah menunjukan 3 lebih sore hari.
Perjalanan menuju pos 1. |
Sampai di masjid samping basecamp beberapa pendaki mengistirahatkan badannya serta bersih-bersih. Aku dan opat langsung ke sekertariat ngambil barang titipan dan lanjut makan. Satu nasi kucing isi tempe gorong dan 2 lembar mendoan mengisi perutku, nikmat sekali rasanya. Seperti inilah orang yang tanpa munafik akan mengucapkan beribu syukur.
Ditambah, ternyata cewek anggun yang tadi bareng turun sedang makan bakso pas samping tempat kami makan. Maka, berkah mana lagi yang akan engkau dustakan?
Semarang,
8 September 2016