Kamis, 27 Oktober 2016

Santri, Peluklah Guru, Ilmu dan NKRI

Tak banyak orang tahu betapa sulitnya perjuangan mbah hasyim asy'ary, dimulai dari penitian ilmunya di pesantren-pesantren, di Makkah AlMukarromah dan menjadi imam besar masjidil haram.
Bersikap jujur dan tawadlu' di depan guru dan ilmu, menjadi santri senior yang siap membela pesantrennya dengan sekuat tenaga, ditinggal orang-orang yang dicinta: anak dan istri saat tahun pertama.

Berkhidmat mengabdi untuk temannya, ditinggal lagi oleh istri keduanya, hingga hatinya merasakan pedih yang mendalam, namun selalu beliau serahkan kepada sang Maha.

Diawal pendirian pesantrennya: Tebuireng menuai banyak kecaman, tidak hanya dipihak pembenci, kerabat dan keluarganya pun selalu bertanya, apa tujuannya?
Tak kaget atau sedikitpun gentar, beliau menjawab santai penuh makna. Dengan kehati-hatian supaya yang mendengarkan hatinya tak terluka, sangat indah budinya.

Membangun strategi dakwah yang luar biasa, menyulap para pemalas dan penunggu jatah sewa tanah menjadi pekerja, menyusupkan sikap ikhlas dan mulia dihatinya, dihati mereka semua dengan tindakan nyata, tidak hanya dimulutnya.

Mendekati para 'pemain' kekuasaan dengan cara sederhana, mula-mula selalu memuji untuk mendapatkan hatinya, memberikan hasil tanaman, ternakan hingga olahan yang sudah tersedia.
Tak pernah ingkar janji walau kepada company, selalu memberikan bukti dan materi dengan ikhlas melebihi. Mengajarkan praktek-praktek dan teori kepada masyarakat sekitar, teman jauh, terutama santri.

Hingga pada suatu hari,
"Kiai, harus tanggung jawab dengan orang yang telah kalian (Kiai dan santri) aniaya hingga mati!.
Ada tiga pilihan: Pertama, serahkan satu santri untuk mengganti nyawanya supaya setimpal. Kedua, Kiai sendiri yang akan kami bawa dan eksekusi sendiri, bukankah kiai yang bilang 'nyawa ditebus nyawa', dan Ketiga, kalau kalian tidak memilih salah satu jangan salahkan bila kita (Opsir Hindia dan preman) tega membakar pesantren Kiai."

Ditodong pertanyaan seperti itu Sang Kiai tidak gegabah menjawab, yang beliau lakukan adalah meminta petunjuk kepada Allah swt dg istikharah dan riyadloh.

Kedua pilihan yang membahayakan nyawa manusia beliau tak menyetujuinya, hingga sepekan waktu yang telah mereka berikan kepada pihak Tebuireng terjadi.

Peristiwa bringas pembakaran pessntren tak terkendalikan untung tidak menelan korban karena Kiai telah menyiapkan dengan matang dibantu Marto Lemu, salah satu pengusaha miras yang kini berhenti menyuplai diwarung remang-remang sekitar traktag pesantren.

Hingga akhirnya, Kiai membangun kembali pemondokan yang agak luas ditempat yang sama, menata kembali kurikulum, menata kembali pertanian dan peternakan peningkat ekonomi, menyusun kembali strategi-strategi membela rakyat, mengentaskan dari belenggu kemiskinan dan kebodohan yang sengaja di jajah oleh Hindia Belanda dengan topeng pabrik gula Cukir, Jombang.

Adakah yang lebih aman tenimbang mengajak diskusi yang dilabeli silaturahmi dan silaturahmi yang berlabel diskusi untuk kemajun negeri?

Tidakkah manusia mulia, nabi Mumammad selalu menangisi rakyat, ummat dan negeri?
Terimakasih mbah, Sang Pendiri Nahdlatul Tujjar, Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Ulama yang setia menyerukan 'Membela Tanah Air wajib hukumnya.

Kamis, 06 Oktober 2016

Senyuman Bukit Duri




Belasan api unggun dengan sisa-sisa kayu penggusuran menerangi anak-anak dan ibu-ibu warga bukit duri yang sedang asyik menikmati malamnya. Terlihat Marjinal, grup band yang sering menemani para korban ketidakadilan membawakan beberapa tangga lagu menambah hangat suasana pinggir ciliwung, hanya berada satu meter disampingnya.

Acara yang bertajuk ‘Pijar Api Nyanyi Sunyi Bukit Duri’ ini dihadiri oleh warga yang minggu lalu terkena gusuran paksa oleh aparat. Marjinal bernyanyi dengan semangat, membawakan lagu-lagu andalannya seperti Rencong-marencong, Hukum rimba, Tanah air beta, Buruh tani dan Negeri-negeri.

Seperti sudah hafal dengan syair-syairnya, mereka bernyanyi bersama-sama terlebih saat lagu Indonesia pusaka, semuanya berdiri mengenang kesedihan semingu lalu yang dipaksa pindah oleh pemerintah DKI.

Disini tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung dihari tua
Sampai akhir menutup mata. (Potongan Indonesia pusaka)

Diatas terpal, disamping-samping api unggun, diparkiran motor dan dikanan-kiri kerumunan terpal persegi panjang menyanyikannya dengan semangat, tak ada kesedihan disana. Aku rasa hanya diriku yang hampir meneteskan air mata haru-bangga pada mereka yang masih tersenyum lebar.

Ditanah lapang itu, terdapat pula poster-poster tulisan anti-anarkis seperti Ciliwung nyawa kami, Aksi damai tanpa kekerasan dan gambar-gambar perlawanan. Langit dan anginpun seperti mendukung, mengayomi mereka, terlihat dari hembusan lembut angin yang menyentuh para korban. Langitpun terlihat cerah ikut tersenyum.

Beberapa wartawan media social juga hadir, baik yang sudah senior ataupun masih magang mengambil gambar dan wawancara dengan panitia maupun warga. Setelah marjinal selesai menemani dilanjutkan oleh Komunitas Sanggar CIliwung dibawah asuhan Romo Sandyawan membawakan lagu ciptaan mereka, kertas-kertas syairnya dibagikan kepada warga.

Romo sendiri membacakan puisi kemudian menyanyikan dua lagu milik sanggar.

Tepat jam 21.10 wib, saya meningalkan mereka yang sedang asyik bernyanyi karena tampaknya KRL sudah menunggu di stasiun untuk perjalanan pulangku menuju kosan. Malam itu, aku merasakan dua kesedihan, meninggalkan mereka sebagai saudaraku dan wanitaku yang kini cintanya kian memudar.