Mu’tashimbillah Fasya
Oleh: Zaenun Nu’man
Bangunan ini masih hangat terkena soroton matahari pagi
sampai malam hari, hujan belum juga turun diakhir bulan kesembilan ini.
Bangunan tua tiga lantai dan satu lantai sebagai jemuran ini adalah tempat para
santri belajar, sekat-sekat yang masih menggunakan triplek, alas yang menggunakan ubin dan lemari yang berjejeran dengan
tumpukan kitab diatasnya memperlihatkan suasana sore ini.
Lukman adalah santri baru di pondok pesantren
Al-falah ini, bertempat di daerah Jawa tengah, dia santri pindahan dari
pesantren Mislahul Mutaallimin yang ada dikota Jember. Sebelumnya, Lukman Mondok 3 tahun namun kurang serius
dengan pelajarannya.
Lukman datang kepesantren diantar oleh keluarga
besarnya. Dia sibuk mengamati santri-santri lain, “tradisinya sama, pada saat
akan ngaji pasti ramai, semua santri membaca nadham imrithi sebelum dimulainya pengajian.” gerutunya dalam hati..
Setelah mendaftar dan sowan kepada
Romo yai Farichin (Pengasuh Pesantren), keluarga besarnya berpamitan dengan
lukman.
“Disini sudah saatnya belajar jang, pelajari apa saja
yang penting dan membawa kemaslahatan untuk ummat” ayahnya membisiki sambil
memeluk anak bungsunya.
“Kalau butuh apa-apa telpon ya jang, betah-betah, disini
tho banyak temennya” ibunya memeluk erat sambil matanya berkaca-kaca, (lukman
memang sedikit dimanja oleh keluarganya) disunlah kedua pipi lukman kemudian
disusul dari keluarganya menyalami lukman kemudian meninggalkan ndalem Pesantren.
***
Kang jamal yang dari tadi menemani santri baru itu
kemudian mengajaknya untuk naik keatas dan mempersilahkan untuk menempati kamar
4, saat itu penghuninya ada 12 anak dari masing-masing pedukuhan yang tidak
terlalu jauh dari pesantren tersebut.
“Kamar kamu disini ya luk, ayo kenalan dulu sama
yang lain” ajak kang jamal.
Kebetulan sore itu ada 4 anak santri baru dikamarnya
dan yang lainnya masih ngaji dengan
ustad Muslih di Aula pesantren.
“Njeh kang” jawabnya sopan.
“Ini Ahmad dari Bodas, ini Agus dari Kejene, ini Farhan
dari Wangkelang dan ini Sodikin dari Gunungjaya” kang jamal mengenalkan
satu-satu dari keempat santri baru itu dan Lukman menyalami mereka.
“Ini lemari kamu, saya tinggal dulu ya luk”, ucap
kang jamal dengan sopan seraya memberikan kunci dan ngeloyor pergi entah
kemana.
Setelah merapihkan bajunya, lukman nimbrung dengan teman-temannya
bercerita yang notabene memang sama-sama santri baru. Lukman lebih banyak diam
dan hanya sesekali mengeluarkan kata-kata itupun kalau menjawab pertanyaan dari
temannya.
Malamnya lukman mengikuti jamaah mahrib dan isya,
kemudian ikut sekolah madrasah awaliyah 1 yang sudah ditentukan kelasnya dari
hasil tes seminggu yang lalu. Selama hampir 2 bulan
lukman masih seperti dulu, pendiam dan pemalu, namun aktif mengikuti pelajaran
karena tekadnya yang bulat sepulang dari pesantren yang lama.
70 hari sudah Lukman berada di pesantren. Dia merasa
hari-harinya tidak ada sensasi atau suasana yang lebih memacu semangatnya untuk
belajar lebig banyak lagi, masih datar.
Pada malam hari, suasana pesantren sudah mulai sepi, para
santri sudah mulai pulang dari sekolah madrasah kekamarnya masing-masing, hanya
beberapa santri saja yang ikut ngaji tafsir bersama pak yai, dan santri
yang akan ronda mala mini.
Kang jamal bertugas memimpin komplek itu, seperti
biasa mengingatkan kepada yang bertugas ronda untuk siap-siap. Dardiri, Rojak,
Alif, Jaka, dan Saipul turun dan standby di pos jaga pesantren, tepatnya depan ndalem
samping pintu masuk pesantren.
“Dar, saya beli rokok dulu buat amunisi malam ini”
tekas Rojak.
“ya siap, kamu yang mbayari kan?” basi-basi dardiri.
“Ndasmu, makan
surabi tadi pagi aja masih ngutang, sini urunan!”
Dari masing-masing mengeluarkan uangnya, ada yang
5.000, ada yang 3000 karena memang tidak ada batas minimum dan maksimumnya.
Kalau ada ya dikasih, dan tidak bisa berbohong karena sudah melihat dengan mata
batin. (banyak mata-mata dari teman sekamarnya). Rojak ngeloyor kewarung yu nasikah beli
rokok dan kopi.
***
Di kamar 4, sambil menggelar sejadah sebagai alas untuk
tidur, Lukman merebahkan badannya. Malam itu suasana hati lukman terbayang
keadaan rumahnya, burung daranya yang kemarin baru melahirkan, gadgetnya yang baru dibeli sepulang mondok, teman-teman satu tongkrongannya
dan lain-lain yang mengusik pikiran Lukman. Sampai jam setengah tiga, matanya
tidak mau diajak merem, tubuhnya yang sudah lelah mengguling ke kanan, ke kiri,
terkadang telentang pun masih tetap tidak bisa tidur.
Suara obrolan peronda pun dengan otomatis masuk
ketelinga Lukman, namuan ada suara lain. lukman mendengar suara yang indah,
”kedengarannya ada yang baca al-Quran” gumamnya dalam hati. Kalaupun orang nderes,
biasanya ya di Aula atas atau di masjid depan. Suara ini terdengar dari
samping pesantren.
Setelah beberapa menit mendengarkan, dia
memberanikan diri untuk bangun dan mencari sumber suara, semakin lama semakin
jelas suara nderes dengan lagu jawa
itu, subhanallah merdu sekali.
Suara tersebut berasal dari dapur umum tempat santri
memasak nasi dan lauk pauk. Lukman masuk dan mendekati kang santri yang sedang
mendendangkan qiraahnya, dan seperti sudah tau ada yang datang, santri tersebut
berhenti dan menoleh kearah lukman.
“Belum tidur kang” sapa santri itu.
“Tidak bisa tidur kang” jawab lukman jujur.
“Sampean belum tidur juga?” Tanya lukman kembali.
“Saya baru bangun kang, lagi belajar qiroah.”
Katanya sambil tersenyum.
Dapur umum yang hanya diterangi oleh satu lampu
diluar membuat wajah keduanya samar-samar, Lukman memang belum banyak mengenal
santri disini karena memang terdiri dari beberapa komplek. Dengan penglihatan
samar-samar, lukman mengamati wajah lawan biacaranya itu.
“Kang saya mau belajar seperti sampean, saya pengin
bisa qiroah” katanya memberanikan diri.
“Wah saya juga masih tahap belajar kang, kita belajar
sama-sama saja ya” jawabnya sambil membuka kembali materi qiroah tersebut.
“Kuncinya istiqomah kang, kalau sampean memang
serius belajar.” Lanjutnya. Kemudian
mereka belajar bersama,
Hampir 3 bulan lukman belajar qiroah dengan santri
tersebut tanpa mempertanyakan asal atau komplek patnernya itu. Hari-harinya
kini dijalankan dengan semangat untuk terus belajar sampai akhirnya setelah 3
bulan penuh lukman sudah bisa melantunkan satu materi Nahawand dengan bagus dan indah.
Malam selanjutnya teman sekaligus gurunya itu tidak
ada ditempat seperti biasanya,
“ah paling dia masih sholat tahajjud’ katanya dalam hati. Lukman belajar sendiri
mengulang-ngulang materi qiroahnya, Sampai waktu mendekati subuh beliau tidak
muncul juga. Perasaan khawatir kini menyelimuti lukman, dia tidak tau komplek
bahkan nama temannya itu.
Setelah sholat subuh selesai, lukman kembali kedapur
umum barangkali disana, namun tetap saja tidak ada.
Jam berganti jam, hari berganti hari, hampir setiap hari
usaha lukman untuk menanyakan siapa sebenarnya santri yang selalu ngaji saat dini hari itu nihil, sampai
pada saat malam ahad ketika semua santri ikut rutinan khitobah (belajar pidato), karena lukman tidak seperti biasanya ia
datang paling akhir sebelum dimulainya acara. Ketika
lukman turun dari tangga pesantren, ada mbah wahab dibawah menanti santri untuk
meminta bantuan.
“cah, sini. Saya mau minta bantuan” ucap kakek yang
sangat dikenal hampir semua santri, karena rumahnya dekat dengan pesantren.
“ada apa mbah?” tanya lukman.
“bantu saya buat angkat meja dirumah, merapihkan
kitab-kitab” pinta mbah wahab. Memang mbah wahab ini santri angkatan pertama
dari Romo Kyai Syahmarie Syarif ayah dari Kyai Farichin.
“njeh mbah,
mari” angguk lukman tanda mampu.
Dirumah mbah wabah ternyata sudah ada 3 santri dari
komplek lain, dia adalah akmal, kodirin dan sunarto. Mereka menunggu bantuan
satu orang lagi karena memang mejanya besar dan dibuat dari kayu jati, jadi
memang harus di kerjakan oleh 4 orang. Mbah wahab memerintahkan agar mejanya
ditaruh diluar saja. Dengan susah payah akhirnya mereka bisa memindahkan dan
merapihkan kitab-kitabnya.
”sampun mbah”
celetuk kodirin karena menang sudah selesai.
“ya sudah, duduk dulu, mbah siti -istri mbah wahab-
sedang menyiapkan jagung dan ubi rebus”
kata mbah wahab bungah.
Setelah mereka diajak ngobrol ngalor-ngidul, mereka juga diceritakan tentang sejarh pesantren
dulu, sejarah beliau masih muda. Tiba saatnya dalam benak lukman untuk
menanyakan siapa patner misteriusnya tersebut.
“mbah saya mau Tanya, apa njenengan tau siapa santri yang rajin nderes quran disaour umum?” tanyaku mencari tahu.
“lho kamu kenal?” Tanya mbah wahab heran.
“njeh mbah,
saya sering sekali ketemu dia dan sekarang belum melihat lagi” lukman tidak
langsung jujur.
“dia namanya Mu’tashimbillah Fasya, adik abah yai.”
Mbah wahab mulai menjelaskan.
“Beliau memang senang sekali kepada santri yang
semangat untuk ngaji, belajar dan mau
mutholaah pelajarannya.” Lanjutnya
dengan suara pelan.
“Dia tinggal dikomplek mana mbah?” satu pertanyaan
menyusul dari akmal.
Dengan
menarik nafas dan meneguk teh tubruk yang mulai dingin, mbah wahab menjelaskan
“Dia sudah tidak ada”.
“Maksudnya sudah meninggal mbah?” Tanya lukman tidak
sabar menunggu penjelasan mbah wahab.
“iya, beliau sudah lama meninggal. Sekitar 30 tahun
yang lalu. Beliau adalah sosok yang berharga dipesantren, selalu membantu
kegiatan-kegiatan yang membuat santri untuk maju dan tidak ketinggalan dengan
pelajar umum –yang tidak nyantri-. namun
tidak banyak pula yang ditemui dan itupun rata-rata kepada santri yang sudah
bertahun-tahun nyantri. kalau tidak
ya yang sudah hafal alfiyah.”
Jelasnya.
Malam itu terasa dingin sekali, angin-angin yang
masuk melalui celah rumah kayu sederhana ini seakan mampu menembus kulit dan
masuk ke tulang. Tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulut mereka
berempat, padahal seribu pertanyaan mengoyak-oyak pikiran lukman.
“Gus bill ini, -panggilan mendiang Mu’tashim- dengan
semangatnya sering mengajari santri kesenian-kesenian islam, ilmu dagang sampai
ilmu kesehatan. Beliau ingin santri lulusan dari sini semakin kreatif, dan
mengamalkan ilmuanya dimasyarakat.” Pungkas mbah wahab.
Ada satu kebahagiaan tersendiri masuk dalam pikiran
lukman, yaitu pengajaran berbasis ghaib. Semua
jawaban itu membuat lukman terdiam seribu kata.
“Ayo ubinya habiskan” kata mbah wahab memecah
kebisuan.
“disini banyak kitab, apabila mau belajar silahkan
dibawa, buat apa saya sudah tua kalau tidak diwariskan kepada penerus
ulama-ulama ini” kelakar mbah wahab.
Setelah keluar dari rumah itu, lukman kembali bersemangat
dalam belajar dan banyak nderes pelajaran-pelajaran
yang sudah diberikan pesantren kepadanya, karena dia ingat pesan dari Gus bill
‘kuncinya adalah istiqomah’. Tentang
Gus bill ini, Lukman menyimpan diam-diam dan tidak mau banyak yang tahu tentang
ini.
Wallahu a’lam.