Sabtu, 05 Maret 2016

Humor, antara Estetika dan Kosmetika

Humor, antara Estetika dan Kosmetika

Semua humor itu plesetan. Plesetan di luar humor, bisa bernama penyelewengan hokum, kemunafikan sikap prilaku, atau tragedy politik.
            Humor, juga humor plesetan, itu kasus estetika. Radius “hak” humor hanya dalam wilayah konteks estetika. Ada pun dalam etika dan saintika, atau jika humor dan plesetan menjadi watak dunia etika dan saintika: destruksi hasilnya.
Jelasnya: dalam urusan etika (baik-buruk dan saintika (benar-salah), humor dan plesetanlhanya berfungsi kosmetik. Ibarat badan saintika itu anatomi tulang-belulang, etika itu daging dan kulit, estetika itu bedak pupur belaka. 4x4 itu 16, jangan diplesetkan menjadi sama dengan terserah “petunjuk bapak”. Itu hakiki saintika.
            Kedaulatan rakyat, dmokrasi, hak asasi, itu bukan humor dan jangan diplesetkan, kecuali sekadar untuk hiasan, rumbai, atau instrument pelentur dan penyegar dalam susah payah proses memujudkannya. Hak perut untuk diisi makanan, hak darah untuk beredar, hak akal untuk mencerap dan merumuskan, hak mulut untuk mengungkapkan, hak kaki dan tangan untuk bekerja, hak nurani untuk memperindah kehidupan-itu sangat  serius, bukan humor, bukan dagelan dan tidak “berkewajiban” untuk diplesetkan.
            Hal estetika sendiri, tentu tak usah kita jelas-jelaskan betapa pentingnya bagi kehidupan. Kalau kita menyuguhkan nasi dengan menaruhnya dalam botol, pasti “tidak lucu”. Juga kalau naik bus kota sambil menciumi foto pacar sampai basah-basah itu kertas foto: tidak salah menurut saintika dan etika, tapi “tidak lucu” menurut estetika.

Serius
            Humor itu serius dan dalam dirinya sendiri. Humor itu sungguh-sungguh sebagai kesenian hidup. Jika humor diterapkan sebagai prinsip dalam kebenaran ilmu, tata Negara, peribadatan, pergaulan rakyat-negara, manusia, Tuhan, dan lain sebagainya, ia merusak, seperti melipa-lipat kaca.
            Di dalam kesenian, juga humor dan plesetan, surealisme atau ekspresionisme-liberal boleh –atau bahkan disarankan- untuk diterapkan. Hidung boleh dilebih panjangkan, kepala silahkan ditambah-besarkan, kaki dibengkok-bengkokkan, dan wajah dipeletot-peletotkan; sebab fenomena itu berada dalam wilayah kemungkinan inovasi estetik. Dan itu hanya berlaku sebagai estetika. Tidak sebagai etika atau saintika.
            Maka data tentang kemiskinan dilarang untuk ditambah atau dikurangi. Fakta tentang korupsi, penindasan, pemelaratan, tak boleh dikecilkan atau dibesarkan. Fakta kehidupan, realitas manusia, kenyataan sejarah, bisa dihumorkan, tapi bukan humor.
Gejala plesetan yang membengkak tahun-tahun terakhir ini sesungguhnya terbatas pada jenis plesetan verbal: “Abdurrahman wahing…wahing pon wage kliwon…bumbu masak kliwooon…bumbu landu paranggi penyair sumba…sumba ainun nadjib…kasihan najib rakyat kita…kita purnamasari…saridin mbahmu!”
Ada pun hampir seluruh teknik humor sebenarnya adalah plesetan. Plesetan logika. Plesetan asosiasi. Plesetan pemahaman. Plesetan atas plesetan. Yang terakhir ini, maksudnya: ketika orang sudah terbiasa dan mulai “imun” terhadap tradisi plesetan, justru diberi yang tidak plesetan, artinya plesetan diplesetkan ke sungguh-sungguh. Alhasil, metode komunikasi untuk memproduk tawa selalu melalui plesetan, karena asal-usul tawa berasal dari segala sesuatu yang tak terduga, yang melenceng dari kerangka asosiasi baku. Hampir semua pelawak memplesetkan wajahnya.

Kemungkinan
            Humor selalu berdenyut di antara kutub kemungkinan sebagai ketahanan budaya dengan pelarian psikis. Kadarnya saja yang naik-turun. Estetika humor membuat manusia lebih kerasan hidup, lebih resisten terhadap penderitaan, lebih memperoleh kesegaran dan keindahan, bahkan apa saja pengalaman manusia dalam hidup, selalu bisa memabukkan, menjerumuskan, menjebak. Tidak hanya wiski yang bikin teller. Air biasa juga bisa, asal kita minum satu drum aspal.
            Jadi bahwa tradisi humor pada saat tertentu hanya merupakan jenis eksapisme psikologis dari masyarakat, antisipasi kita ada dua macam. Kalau bisa, sebarkan kesadaran beserta tekniknya agar jangan terhenti sebagai pelarian. Kalau tidak bisa, ya ndak apa-apa. Masih untung ada humor tempat pelarian. Habisnya mau lari ke mana rakyat Anda yang bersedih dan ditimpa kepusingan struktural? Kepada pak Camat, malah dikemplang. Kepada ulama, malah dicurigai sempalan. Kepada cendikiawan, malah dituduh cengeng. Kepada Tuhan, susah caranya omong-omongan.
            Kalau bicara soal eskapisme, yang mungkin menjadi terdakwa bukan hanya humor, tapi juga ibadat dan tarekat, diskusi dan asyik-masyuk acrobat intelektual, naik haji, sisi show demonstrasi, yayasan filantropi, romantisme “posmo”, sejumlah gejala “LSM”, seni tinggi, dan macam-macam lagi.

Kritik
            Tetapi pasti bagus untuk menyadari dan meletakkan humor dalam fungsi kritik. Tradisi clowns, guyon parikeno, abdidalem oceh-ocehan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya berlaku universal, selalu berfungsi kritik, meskipun tak usah dikasih beban melebihi kapasitasnya dalam menyumbang perubahan-perubahan dalam sejarah dengan “S” besar. Ia bahkan punya kelemahan mendasar tatkala disadari dan diperlakukan justru sebagai humor.
            Kita boleh mengoceh sampai kemeng, tapi sang Maharaja hanya tersenyum dan nyeletuk ringan: “Toh sekadar humor,“ dan rakyat percaya bahwa itu toh sekadar humor. Sayang sekali ada jenis kalangan yang terlalu pelit budaya dan kecut politik, “sekadar humor” saja dilarang.
            Humor itu kekayaan dahsyat yang memungkinkan seluruh sisi pergaulan dan pola komunikasi umat manusia lebih menemukan diri bahwa mereka hidup. Kuliah di kampus, ngungun di sel tahanan, dakwah agama, pidato politik dan ilmiah, pentas kesenian, rumah tangga, apa pun, akan penuh kematian jika steril dari estetika humor. Humor itu bagian amat mendasar dam mendalam dari daya survival manusia. Ada pun jika humor kita nafsuin untuk didayagunakan dalam konteks-konteks besar sejarah-perubahan sosial, perlawanan politik, tandingan budaya, dan seterusnya- itu cukup mungkin.
            Cuma, kalau gagasan semacam itu menggebu-gebu, biasanya tidak berasal dari orang yang “mengausai humor”. Para pelaku dan pentradisi humor biasanya tahu betapa pretense nonhumor yang berlebih bisa melunturkan metabolisme kreativitas humor dalam system saraf-dalamnya. Humor tidak terlalu dekat dengan otak, melainkan cenderung intim dengan naluri, instink, spontanitas, serta berbagai jenis kepekaan. Padahal bangunan setiap pretense politik itu sangat intelektualistik dan teknokrat. Di situ, orang malah bisa kehilangan humor.
            Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik-cendikia: Allah sendiri itu Mahahumor. Sudah enak-enak hidup sendiri kokbikin macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surge, dibiarkan tercampak ke bumi, kok lucu. Buah Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhannkehilangan sebiji Quldi? Mbok biarkan Adam kawin sama Hawa di surge, pengantinandan pesta sampai anak turunnya sekarang ini.
            Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkrama mesra dengan-nya. Lucu. Pakai Iblis-setan segala. Bertugas menggoda manusia. Terus manusia jadi susah sendiri. Ada yang membunuh ada yang dibunuh. Ada yang menindas ada yang ditindas. Ada yang sibuk korupsi tak habis-habisnya padahal makannya Cuma tiga piring sehari.
            Manusia juga jadi lucu-lucu dan aneh-aneh. Bikin sekolahan, merumuskan ideology, mempertengkarkannya dengan darah dan mesin, sok pintar, cari nama besar, merintis karir, padahal ujung-ujungnya ya kempot, peot, dan mati.[][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar