Humor, antara Estetika dan Kosmetika
Semua humor itu plesetan. Plesetan di luar humor, bisa bernama
penyelewengan hokum, kemunafikan sikap prilaku, atau tragedy politik.
Humor, juga humor plesetan, itu
kasus estetika. Radius “hak” humor hanya dalam wilayah konteks estetika. Ada
pun dalam etika dan saintika, atau jika humor dan plesetan
menjadi watak dunia etika dan saintika: destruksi hasilnya.
Jelasnya: dalam urusan etika (baik-buruk dan saintika
(benar-salah), humor dan plesetanlhanya berfungsi kosmetik. Ibarat badan
saintika itu anatomi tulang-belulang, etika itu daging dan kulit, estetika itu
bedak pupur belaka. 4x4 itu 16, jangan diplesetkan menjadi sama dengan terserah
“petunjuk bapak”. Itu hakiki saintika.
Kedaulatan rakyat, dmokrasi, hak
asasi, itu bukan humor dan jangan diplesetkan, kecuali sekadar untuk hiasan,
rumbai, atau instrument pelentur dan penyegar dalam susah payah proses
memujudkannya. Hak perut untuk diisi makanan, hak darah untuk beredar, hak akal
untuk mencerap dan merumuskan, hak mulut untuk mengungkapkan, hak kaki dan
tangan untuk bekerja, hak nurani untuk memperindah kehidupan-itu sangat serius, bukan humor, bukan dagelan dan tidak
“berkewajiban” untuk diplesetkan.
Hal estetika sendiri, tentu tak usah
kita jelas-jelaskan betapa pentingnya bagi kehidupan. Kalau kita menyuguhkan
nasi dengan menaruhnya dalam botol, pasti “tidak lucu”. Juga kalau naik bus
kota sambil menciumi foto pacar sampai basah-basah itu kertas foto: tidak salah
menurut saintika dan etika, tapi “tidak lucu” menurut estetika.
Serius
Humor
itu serius dan dalam dirinya sendiri. Humor itu sungguh-sungguh sebagai
kesenian hidup. Jika humor diterapkan sebagai prinsip dalam kebenaran ilmu,
tata Negara, peribadatan, pergaulan rakyat-negara, manusia, Tuhan, dan lain
sebagainya, ia merusak, seperti melipa-lipat kaca.
Di dalam kesenian, juga humor dan
plesetan, surealisme atau ekspresionisme-liberal boleh –atau bahkan disarankan-
untuk diterapkan. Hidung boleh dilebih panjangkan, kepala silahkan
ditambah-besarkan, kaki dibengkok-bengkokkan, dan wajah dipeletot-peletotkan;
sebab fenomena itu berada dalam wilayah kemungkinan inovasi estetik. Dan itu
hanya berlaku sebagai estetika. Tidak sebagai etika atau saintika.
Maka data tentang kemiskinan
dilarang untuk ditambah atau dikurangi. Fakta tentang korupsi, penindasan,
pemelaratan, tak boleh dikecilkan atau dibesarkan. Fakta kehidupan, realitas
manusia, kenyataan sejarah, bisa dihumorkan, tapi bukan humor.
Gejala plesetan yang membengkak tahun-tahun terakhir ini sesungguhnya
terbatas pada jenis plesetan verbal: “Abdurrahman wahing…wahing pon wage
kliwon…bumbu masak kliwooon…bumbu landu paranggi penyair sumba…sumba ainun
nadjib…kasihan najib rakyat kita…kita purnamasari…saridin mbahmu!”
Ada pun hampir seluruh teknik humor sebenarnya adalah plesetan.
Plesetan logika. Plesetan asosiasi. Plesetan pemahaman. Plesetan atas plesetan.
Yang terakhir ini, maksudnya: ketika orang sudah terbiasa dan mulai “imun”
terhadap tradisi plesetan, justru diberi yang tidak plesetan, artinya plesetan
diplesetkan ke sungguh-sungguh. Alhasil, metode komunikasi untuk memproduk tawa
selalu melalui plesetan, karena asal-usul tawa berasal dari segala sesuatu yang
tak terduga, yang melenceng dari kerangka asosiasi baku. Hampir semua pelawak
memplesetkan wajahnya.
Kemungkinan
Humor
selalu berdenyut di antara kutub kemungkinan sebagai ketahanan budaya dengan
pelarian psikis. Kadarnya saja yang naik-turun. Estetika humor membuat manusia
lebih kerasan hidup, lebih resisten terhadap penderitaan, lebih memperoleh
kesegaran dan keindahan, bahkan apa saja pengalaman manusia dalam hidup, selalu
bisa memabukkan, menjerumuskan, menjebak. Tidak hanya wiski yang bikin teller.
Air biasa juga bisa, asal kita minum satu drum aspal.
Jadi bahwa tradisi humor pada saat tertentu
hanya merupakan jenis eksapisme psikologis dari masyarakat, antisipasi kita ada
dua macam. Kalau bisa, sebarkan kesadaran beserta tekniknya agar jangan
terhenti sebagai pelarian. Kalau tidak bisa, ya ndak apa-apa. Masih
untung ada humor tempat pelarian. Habisnya mau lari ke mana rakyat Anda yang
bersedih dan ditimpa kepusingan struktural? Kepada pak Camat, malah dikemplang.
Kepada ulama, malah dicurigai sempalan. Kepada cendikiawan, malah dituduh
cengeng. Kepada Tuhan, susah caranya omong-omongan.
Kalau bicara soal eskapisme, yang
mungkin menjadi terdakwa bukan hanya humor, tapi juga ibadat dan tarekat,
diskusi dan asyik-masyuk acrobat intelektual, naik haji, sisi show demonstrasi,
yayasan filantropi, romantisme “posmo”, sejumlah gejala “LSM”, seni tinggi, dan
macam-macam lagi.
Kritik
Tetapi
pasti bagus untuk menyadari dan meletakkan humor dalam fungsi kritik. Tradisi clowns,
guyon parikeno, abdidalem oceh-ocehan, dan lain sebagainya yang
sesungguhnya berlaku universal, selalu berfungsi kritik, meskipun tak usah
dikasih beban melebihi kapasitasnya dalam menyumbang perubahan-perubahan dalam
sejarah dengan “S” besar. Ia bahkan punya kelemahan mendasar tatkala disadari
dan diperlakukan justru sebagai humor.
Kita boleh mengoceh sampai kemeng,
tapi sang Maharaja hanya tersenyum dan nyeletuk ringan: “Toh sekadar
humor,“ dan rakyat percaya bahwa itu toh sekadar humor. Sayang sekali ada jenis
kalangan yang terlalu pelit budaya dan kecut politik, “sekadar humor” saja
dilarang.
Humor itu kekayaan dahsyat yang
memungkinkan seluruh sisi pergaulan dan pola komunikasi umat manusia lebih
menemukan diri bahwa mereka hidup. Kuliah di kampus, ngungun di sel
tahanan, dakwah agama, pidato politik dan ilmiah, pentas kesenian, rumah
tangga, apa pun, akan penuh kematian jika steril dari estetika humor. Humor itu
bagian amat mendasar dam mendalam dari daya survival manusia. Ada pun jika
humor kita nafsuin untuk didayagunakan dalam konteks-konteks besar
sejarah-perubahan sosial, perlawanan politik, tandingan budaya, dan seterusnya-
itu cukup mungkin.
Cuma, kalau gagasan semacam itu
menggebu-gebu, biasanya tidak berasal dari orang yang “mengausai humor”. Para
pelaku dan pentradisi humor biasanya tahu betapa pretense nonhumor yang
berlebih bisa melunturkan metabolisme kreativitas humor dalam system
saraf-dalamnya. Humor tidak terlalu dekat dengan otak, melainkan cenderung
intim dengan naluri, instink, spontanitas, serta berbagai jenis kepekaan.
Padahal bangunan setiap pretense politik itu sangat intelektualistik dan teknokrat.
Di situ, orang malah bisa kehilangan humor.
Untunglah, kata sejumlah orang mulia
yang cerdik-cendikia: Allah sendiri itu Mahahumor. Sudah enak-enak hidup
sendiri kokbikin macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian.
Adam sudah nyaman-nyaman di surge, dibiarkan tercampak ke bumi, kok lucu. Buah
Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya
Tuhannkehilangan sebiji Quldi? Mbok biarkan Adam kawin sama Hawa di
surge, pengantinandan pesta sampai anak turunnya sekarang ini.
Kenapa makhluk-makhluk itu harus
menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkrama mesra
dengan-nya. Lucu. Pakai Iblis-setan segala. Bertugas menggoda manusia. Terus
manusia jadi susah sendiri. Ada yang membunuh ada yang dibunuh. Ada yang
menindas ada yang ditindas. Ada yang sibuk korupsi tak habis-habisnya padahal
makannya Cuma tiga piring sehari.
Manusia juga jadi lucu-lucu dan
aneh-aneh. Bikin sekolahan, merumuskan ideology, mempertengkarkannya dengan
darah dan mesin, sok pintar, cari nama besar, merintis karir, padahal
ujung-ujungnya ya kempot, peot, dan mati.[][1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar