Sabtu, 05 Maret 2016

JAJAN ITU 'PENCARIAN'

JAJAN ITU 'PENCARIAN'

Sangat sedikit orang yang tak suka jajan. Sejak masa kanak-kanak, ketika kita mulai masuk sekolah, salah satu kenikmatan utama dalam “budaya sekolah” adalah jajan. Orang tua “wajib” memberi sangu kepada kita, karena keiasaan jajan itu sudah merupakan kebudayaan.
            Kemudian kita menjadi besar, dan sesekali terhenyak menyadari betapa masyarakat kita ternyata tergolong jenis makhluk Tuhan yang dihinggapi “jajan mania”. Warung-warung mungkin saja memiliki omzet yang membuatnya terletak dibaris awal skala perputaran uang dalam perekonomian kita.
            Seringkali kalau melintasi dijalanan dan menjumpai orang berjualan makanan di mana-mana, terpikir dibenak kita: “bangsa kita ini, kayaknya, kerjanya makan melulu….”
Kalau sesekali ke luar negeri, menghayati kehiidupan disana beberapa lama, yang paling tajam terasa adalah kita tidak bisa matmatan di warung. Ada sih, coffe shop, bar, pub dan kios-kios snack dan soft drink disana-sini, tetapi “budaya makan minum” di luar Indonesia tetap saja kalah hangat dibanding yang kita miliki di negeri sendiri.
Terkadang, pikiran ini sampai juga pada semacam asumsi, jangan-jangan kreativitas bangsa kita yang paling konkret di bidang makanan. Dari satu bahan mentah, ketela misalnya, bisa diciptakan puluhan jenis makanan. Kelak kalau kebudayaan kita sudah benar-benar industrial, yang kita cemaskan ialah apa masih bisa cari wedang sekoteng atau kopi nasgithel. Sebab makin tinggi tingkat budaya sebuah warung, semakin encer kandungan the dan kopinya. Perubahan dari warung ke restoran adalah pengeceran bahan minuman, penghambaran, dan deintesifikasi kenikmatan.

Pandai berepigon
Di bidang-bidang selain makanan, kita baru pandai berepigon, meniru, meneruskan, atau menanganpanjangi kreativitas sedulur-sedulur kita yang kreatif di luar negeri. Industry pesawat IPTN mungkin bisa mengagumkan, tetapi secara keseluruhan itu bukan kretivitas sendiri. Habibie memang menyumbangkan system sayap pesawat, misalnya pada Airbus 300-600 yang membuatnya lebih safe waktu landing, tetapi itu parsial. Di bidang industri mobil, orang Jawa terkenal justru bukan bagaimana berinovasi menciptakan system otomotif baru, melainkan mengolah kembali barang yang sudah rongsokan, dibikin bisa jalan kembali.
Tetapi di bidang makanan, jangan coba-coba melawan bangsa Indonesia. Dari yang paling elite hingga yang paling proletar, makanan dikreativisasi. Kita bisa menyiapkan multimenu yang setan dan jin mungkin mengeluarkan air liur. Namun di saat lain kita juga siap makan enceng gondok, dan papaya mentah, atau kalau perlu –ketika ndadi- kita makan kaca dan silet.
Maka tradisi jajan adalah bagian yang memang sangat hidup dari dialektika kreatif dibidang budaya makan itu.

Kenapa jajan?
Meskipun jarang, sebaiknya menang anda pergi jajan. Sema dengan kalau Anda membayar rumah, Anda buka sebaian dindingnya untuk dijadikan pintu dan jendela.
Kenapa jajan? Karena manusia memang “di-set-up” oleh Allah untuk menjadi makhluk yang dinamis. Makanan utama manusia sesungguhnya adalah kemungkinan. Rumah, lemari es, meja makan, ranjang tidur, lebih menunjukan diri sebagai kepastian. Maka penghuninya merasa haus akan sesuatu yang lain, yakni kemungkinan di luar rumah.
Allah konsisten pula. Ia ciptakan gairah di dada manusia untuk “menguak langit”, untuk memandang ke luar jendela, dan mungkin beranjak ke luar pintu. Pada saat yang sama, Ia sodorkan beribu fasilitas ke luar rumah itu, dan Ia izinkan pula untuk menikmatinya sampai batas tertentu. “Makanlah dan minumlah,” demikian firman-Nya, “hanya saja , jangan berlebihan”.
Kata –kata Allah ini diungkapkan tidak terutama sebagai peristiwa hokum,melainkan juga berkonteks kesehatan dan keselamatan hidup. Artinya, dalam perintah dan larangan Tuhan, yang terpenting bukan boleh dan tidak bolehnya, melainkan petunjuk tentang keselamatan dan ketidakselamatan.
Allah membukakan kebebasan bagi manusia , karena kebebasanlah satu-satunya medan dan cara bai manusia untuk mempelajari dan menerima keterbatasan. Makan dan minumlah, tetapi kemerdekaan untuk makan dan minum itu sudah tidak kita butuhkan sesudah kita habiskan dua piring nasi. Kita menjadi mengerti, keterbatasan adalah justru sasaran yang hendak dipakai kemerdekaan. Dan itulah satu-satunya metode penyelamatan hidup manusia.
Kalau kemerdekaan tak bermakna keterbatasan, apakah Anda akan makan dua puluh pring sehari? Karena api keinginan di dalam diri kita memang siap makan beribu-riu piring nasi, beribu-ribu hectare tanah, bermiliar-miliar uang, kedudukan abadi, serta apa saja. Namun guru kita bukanlah keinginan, melainkan kapasitas perut yang prasaja.
Perut tidak meminta macam-macam, ia hanya memerlukan sejumlah unsure yang diperlukan bagi kesehatan tubuh, lidah kita saja, baik lidah di mulut maupun “lidah buaya” yang menyandera dan menyeret kita untuk pergi ke bermacam-macam warung untuk mendapatkan berjenis-jenis makanan, dan minuman. Sedangkan perut tidak pernah membedakan gethuk dengan hamburger.


Api Kehendak
Kalau kemerdekaan tidak merupakan pelajaran yang arif tentang batasan-batasan, apakah Anda ingin diri dan hidup Anda terbakar api kehendak? Sebab kita semua ini ingin menjadi presiden sekaligus konglomerat sekaligus pakar ilmu sekaligus seniman besar sekaligus nabi: api keinginan sanggup melahap semua yang bisa dilibatkan dalam lingkaran keinginan.
Anda inginnya tidak segera mati bukan? Kapan mau dipanggil Tuhan? Nanti pada usia 60 tahun? Kita jawab: mbok ya 65. “Okey, 65. Kita ngenyang lagi: “Ya syukur kalau 70”. Baiklah 7. Kita bermanja lagi: “Saya akan sangat berteri makasih kalau bisa hidup sampai usia 8 tahun, syukur-syukur 100 tahun, atau entah berapa sehingga bisa masuk bukur rekor dunia sebagai orang tertua, serta bisa menikmati hidup sepuas-puasnya. Lebih sip lagi kalau pada usia seabad saya masih belum kampong, masih belum impoten, dan belum keriput….”
“Api “ itu sesungguhnya selalu punya naluri untuk menjilat hingga ke kosmos tak terhingga. Ia memliki hakikat untuk menemukan kembali sumbernya, yaitu cahaya.
Orang pergi jajan, orang ingin variasi, orang ingin tampil beda, orang ingin sesuatu yang lain, orang ingin penemuan, inovasi, invensi, dan seterusnya-pada hakikatnya karena sukma manusia itu bergerakmencari sumbernya.
Tetapi “jajan” yang kita perbincangkan ini”jajan” yang mentradisi dalam kehidupan masyarakathanya disadari sebatas konteksnya sebagai budaya sehari-hari yang “ringan”, dan “permukaan”. Jajan hanya dijalani, dihayati, dan dipahami hanya sebagai “peristiwa rekreasi” dan “peristiwa makanan”.
Jajan dilakukan manusia-sesungguhnya-sebagai peristiwa kejiwaaan, namun jiwa manusia tidak bisa mengambil jarak dari dirinya sendiri, sehingga peristiwa itu tidak disadari sebagai periatiwa kejiwaan.
Memang, peradaban manusia berulangkali mengalami degradasi dari ruh ke filosofi dan akhirnya ke materi.  Penurunan derajat dari “laku” ke “makanan”. Tapi Anda tak usah pusing. Kalau mau pergi jajan ya jajan saja![][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar