Senin, 08 Februari 2016

Mu'tashim billah - Fasya

Mu’tashimbillah Fasya
Oleh: Zaenun Nu’man

Bangunan ini masih hangat terkena soroton matahari pagi sampai malam hari, hujan belum juga turun diakhir bulan kesembilan ini. Bangunan tua tiga lantai dan satu lantai sebagai jemuran ini adalah tempat para santri belajar, sekat-sekat yang masih menggunakan triplek, alas yang menggunakan ubin dan lemari yang berjejeran dengan tumpukan kitab diatasnya memperlihatkan suasana sore ini.
Lukman adalah santri baru di pondok pesantren Al-falah ini, bertempat di daerah Jawa tengah, dia santri pindahan dari pesantren Mislahul Mutaallimin yang ada dikota Jember. Sebelumnya, Lukman Mondok 3 tahun namun kurang serius dengan pelajarannya.
Lukman datang kepesantren diantar oleh keluarga besarnya. Dia sibuk mengamati santri-santri lain, “tradisinya sama, pada saat akan ngaji pasti ramai, semua santri membaca nadham imrithi sebelum dimulainya pengajian.” gerutunya dalam hati.. Setelah mendaftar dan sowan kepada Romo yai Farichin (Pengasuh Pesantren), keluarga besarnya berpamitan dengan lukman.

“Disini sudah saatnya belajar jang, pelajari apa saja yang penting dan membawa kemaslahatan untuk ummat” ayahnya membisiki sambil memeluk anak bungsunya.
“Kalau butuh apa-apa telpon ya jang, betah-betah, disini tho banyak temennya” ibunya memeluk erat sambil matanya berkaca-kaca, (lukman memang sedikit dimanja oleh keluarganya) disunlah kedua pipi lukman kemudian disusul dari keluarganya menyalami lukman kemudian meninggalkan ndalem Pesantren.
***
Kang jamal yang dari tadi menemani santri baru itu kemudian mengajaknya untuk naik keatas dan mempersilahkan untuk menempati kamar 4, saat itu penghuninya ada 12 anak dari masing-masing pedukuhan yang tidak terlalu jauh dari pesantren tersebut.
“Kamar kamu disini ya luk, ayo kenalan dulu sama yang lain” ajak kang jamal.
Kebetulan sore itu ada 4 anak santri baru dikamarnya dan yang lainnya masih ngaji dengan ustad Muslih di Aula pesantren.
“Njeh kang” jawabnya sopan.
“Ini Ahmad dari Bodas, ini Agus dari Kejene, ini Farhan dari Wangkelang dan ini Sodikin dari Gunungjaya” kang jamal mengenalkan satu-satu dari keempat santri baru itu dan Lukman menyalami mereka.
“Ini lemari kamu, saya tinggal dulu ya luk”, ucap kang jamal dengan sopan seraya memberikan kunci dan ngeloyor pergi entah kemana.
Setelah merapihkan bajunya, lukman nimbrung dengan teman-temannya bercerita yang notabene memang sama-sama santri baru. Lukman lebih banyak diam dan hanya sesekali mengeluarkan kata-kata itupun kalau menjawab pertanyaan dari temannya.
Malamnya lukman mengikuti jamaah mahrib dan isya, kemudian ikut sekolah madrasah awaliyah 1 yang sudah ditentukan kelasnya dari hasil tes seminggu yang lalu. Selama hampir 2 bulan lukman masih seperti dulu, pendiam dan pemalu, namun aktif mengikuti pelajaran karena tekadnya yang bulat sepulang dari pesantren yang lama.
70 hari sudah Lukman berada di pesantren. Dia merasa hari-harinya tidak ada sensasi atau suasana yang lebih memacu semangatnya untuk belajar lebig banyak lagi, masih datar.
Pada malam hari, suasana pesantren sudah mulai sepi, para santri sudah mulai pulang dari sekolah madrasah kekamarnya masing-masing, hanya beberapa santri saja yang ikut ngaji tafsir bersama pak yai, dan santri yang akan ronda mala mini.
Kang jamal bertugas memimpin komplek itu, seperti biasa mengingatkan kepada yang bertugas ronda untuk siap-siap. Dardiri, Rojak, Alif, Jaka, dan Saipul turun dan standby di pos jaga pesantren, tepatnya depan ndalem samping pintu masuk pesantren.
“Dar, saya beli rokok dulu buat amunisi malam ini” tekas Rojak.
“ya siap, kamu yang mbayari kan?” basi-basi dardiri.
“Ndasmu, makan surabi tadi pagi aja masih ngutang, sini urunan!”
Dari masing-masing mengeluarkan uangnya, ada yang 5.000, ada yang 3000 karena memang tidak ada batas minimum dan maksimumnya. Kalau ada ya dikasih, dan tidak bisa berbohong karena sudah melihat dengan mata batin. (banyak mata-mata dari teman sekamarnya). Rojak ngeloyor kewarung yu nasikah beli rokok dan kopi.
***
Di kamar 4, sambil menggelar sejadah sebagai alas untuk tidur, Lukman merebahkan badannya. Malam itu suasana hati lukman terbayang keadaan rumahnya, burung daranya yang kemarin baru melahirkan, gadgetnya yang baru dibeli sepulang mondok, teman-teman satu tongkrongannya dan lain-lain yang mengusik pikiran Lukman. Sampai jam setengah tiga, matanya tidak mau diajak merem, tubuhnya yang sudah lelah mengguling ke kanan, ke kiri, terkadang telentang pun masih tetap tidak bisa tidur.
Suara obrolan peronda pun dengan otomatis masuk ketelinga Lukman, namuan ada suara lain. lukman mendengar suara yang indah, ”kedengarannya ada yang baca al-Quran” gumamnya dalam hati. Kalaupun orang nderes, biasanya ya di Aula atas atau di masjid depan. Suara ini terdengar dari samping pesantren.
Setelah beberapa menit mendengarkan, dia memberanikan diri untuk bangun dan mencari sumber suara, semakin lama semakin jelas suara nderes dengan lagu jawa itu, subhanallah merdu sekali.
Suara tersebut berasal dari dapur umum tempat santri memasak nasi dan lauk pauk. Lukman masuk dan mendekati kang santri yang sedang mendendangkan qiraahnya, dan seperti sudah tau ada yang datang, santri tersebut berhenti dan menoleh kearah lukman.
“Belum tidur kang” sapa santri itu.
“Tidak bisa tidur kang” jawab lukman jujur.
“Sampean belum tidur juga?” Tanya lukman kembali.
“Saya baru bangun kang, lagi belajar qiroah.” Katanya sambil tersenyum.
Dapur umum yang hanya diterangi oleh satu lampu diluar membuat wajah keduanya samar-samar, Lukman memang belum banyak mengenal santri disini karena memang terdiri dari beberapa komplek. Dengan penglihatan samar-samar, lukman mengamati wajah lawan biacaranya itu.
“Kang saya mau belajar seperti sampean, saya pengin bisa qiroah” katanya memberanikan diri.
“Wah saya juga masih tahap belajar kang, kita belajar sama-sama saja ya” jawabnya sambil membuka kembali materi qiroah tersebut.
“Kuncinya istiqomah kang, kalau sampean memang serius belajar.” Lanjutnya. Kemudian mereka belajar bersama,
Hampir 3 bulan lukman belajar qiroah dengan santri tersebut tanpa mempertanyakan asal atau komplek patnernya itu. Hari-harinya kini dijalankan dengan semangat untuk terus belajar sampai akhirnya setelah 3 bulan penuh lukman sudah bisa melantunkan satu materi Nahawand dengan bagus dan indah.
Malam selanjutnya teman sekaligus gurunya itu tidak ada ditempat seperti biasanya,
“ah paling dia masih sholat tahajjud’ katanya dalam hati. Lukman belajar sendiri mengulang-ngulang materi qiroahnya, Sampai waktu mendekati subuh beliau tidak muncul juga. Perasaan khawatir kini menyelimuti lukman, dia tidak tau komplek bahkan nama temannya itu.

Setelah sholat subuh selesai, lukman kembali kedapur umum barangkali disana, namun tetap saja tidak ada.
Jam berganti jam, hari berganti hari, hampir setiap hari usaha lukman untuk menanyakan siapa sebenarnya santri yang selalu ngaji saat dini hari itu nihil, sampai pada saat malam ahad ketika semua santri ikut rutinan khitobah (belajar pidato), karena lukman tidak seperti biasanya ia datang paling akhir sebelum dimulainya acara. Ketika lukman turun dari tangga pesantren, ada mbah wahab dibawah menanti santri untuk meminta bantuan.
“cah, sini. Saya mau minta bantuan” ucap kakek yang sangat dikenal hampir semua santri, karena rumahnya dekat dengan pesantren.
“ada apa mbah?” tanya lukman.
“bantu saya buat angkat meja dirumah, merapihkan kitab-kitab” pinta mbah wahab. Memang mbah wahab ini santri angkatan pertama dari Romo Kyai Syahmarie Syarif ayah dari Kyai Farichin.
njeh mbah, mari” angguk lukman tanda mampu.
Dirumah mbah wabah ternyata sudah ada 3 santri dari komplek lain, dia adalah akmal, kodirin dan sunarto. Mereka menunggu bantuan satu orang lagi karena memang mejanya besar dan dibuat dari kayu jati, jadi memang harus di kerjakan oleh 4 orang. Mbah wahab memerintahkan agar mejanya ditaruh diluar saja. Dengan susah payah akhirnya mereka bisa memindahkan dan merapihkan kitab-kitabnya.
sampun mbah” celetuk kodirin karena menang sudah selesai.
“ya sudah, duduk dulu, mbah siti -istri mbah wahab- sedang menyiapkan jagung dan ubi   rebus” kata mbah wahab bungah.
Setelah mereka diajak ngobrol ngalor-ngidul, mereka juga diceritakan tentang sejarh pesantren dulu, sejarah beliau masih muda. Tiba saatnya dalam benak lukman untuk menanyakan siapa patner misteriusnya tersebut.
“mbah saya mau Tanya, apa njenengan tau siapa santri yang rajin nderes quran disaour umum?” tanyaku mencari tahu.
“lho kamu kenal?” Tanya mbah wahab heran.
njeh mbah, saya sering sekali ketemu dia dan sekarang belum melihat lagi” lukman tidak langsung jujur.
“dia namanya Mu’tashimbillah Fasya, adik abah yai.” Mbah wahab mulai menjelaskan.
“Beliau memang senang sekali kepada santri yang semangat untuk ngaji, belajar dan mau mutholaah pelajarannya.” Lanjutnya dengan suara pelan.
“Dia tinggal dikomplek mana mbah?” satu pertanyaan menyusul dari akmal.
Dengan menarik nafas dan meneguk teh tubruk yang mulai dingin, mbah wahab menjelaskan “Dia sudah tidak ada”.
“Maksudnya sudah meninggal mbah?” Tanya lukman tidak sabar menunggu penjelasan mbah wahab.
“iya, beliau sudah lama meninggal. Sekitar 30 tahun yang lalu. Beliau adalah sosok yang berharga dipesantren, selalu membantu kegiatan-kegiatan yang membuat santri untuk maju dan tidak ketinggalan dengan pelajar umum –yang tidak nyantri-. namun tidak banyak pula yang ditemui dan itupun rata-rata kepada santri yang sudah bertahun-tahun nyantri. kalau tidak ya yang sudah hafal alfiyah.” Jelasnya.
Malam itu terasa dingin sekali, angin-angin yang masuk melalui celah rumah kayu sederhana ini seakan mampu menembus kulit dan masuk ke tulang. Tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulut mereka berempat, padahal seribu pertanyaan mengoyak-oyak pikiran lukman.
“Gus bill ini, -panggilan mendiang Mu’tashim- dengan semangatnya sering mengajari santri kesenian-kesenian islam, ilmu dagang sampai ilmu kesehatan. Beliau ingin santri lulusan dari sini semakin kreatif, dan mengamalkan ilmuanya dimasyarakat.” Pungkas mbah wahab.
Ada satu kebahagiaan tersendiri masuk dalam pikiran lukman, yaitu pengajaran berbasis ghaib. Semua jawaban itu membuat lukman terdiam seribu kata.
“Ayo ubinya habiskan” kata mbah wahab memecah kebisuan.
“disini banyak kitab, apabila mau belajar silahkan dibawa, buat apa saya sudah tua kalau tidak diwariskan kepada penerus ulama-ulama ini” kelakar mbah wahab.
Setelah keluar dari rumah itu, lukman kembali bersemangat dalam belajar dan banyak nderes pelajaran-pelajaran yang sudah diberikan pesantren kepadanya, karena dia ingat pesan dari Gus bill ‘kuncinya adalah istiqomah’. Tentang Gus bill ini, Lukman menyimpan diam-diam dan tidak mau banyak yang tahu tentang ini.


Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar