Manusia
desa, mereka itu…..
Oleh: Zaenun Nu’man
Terik siang,
kini menyeruak masuk ke semua kolong dan sudut rumah, saat orang-orang kota
dengan tenangnya ‘ngadem’ di bawah AC.
Jauh
disana, orang desa duduk-duduk sambil buka baju menikmati semilirnya angin. AC
alami.
“tad
jabid!!!” kang likun memanggil.
“ya,
ada apa kun?” jawab tad jabid yang sedang jalan menuju mushola.
“begini
tad, lebaran kan sudah seminggu berlalu, pemuda rantau ingin rembugan tentang
pembangunan kolam langgar kita”
“kapan?”
“nanti
malam selepas mahriban tad”
“baiklah,
nanti saya hadir insya Allah” pungkas tokoh agama sambil melanjutkan jalannya.
Foto diambil dari Jendeladuniamanusia.blogspot.com |
Lantunan
shalawat jono dengan bahasa jawa kuno menambah rasa kantuk warga yang bau
pulang dari sawah.
Tamba ati iku
lima ing wernane
Maca qur’an kudu
weruh ing hurufe
Kapindone shalat
wengi lakonono
Kaping telu
wongkang shaleh, ngumpulana
Kaping papat
weteng iro ingkag luwe
Kaping lima
zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine,
sapa bisa ngelakoni
Insyaallahu
ta’ala nyembadani
Cukup
lawa kang jono dan wak mahlan shalawatan, setelah setengah jam lebih barulah
qomat. Selesai sahalat warga kampong sirema seakan disurupi, tidur siang adalah
hal yang sangat nikmat untuk istirahat saat panas dan lelah.
Menjelang
sore, kang jono yang biasa adzan kini tek terlihat sampai jam 4 sore. Dengan
sisa-sisa suaranya wak mahlan mbadali. Jamaah ashar lebih banyak disbanding
dzuhur yang hanya 5 orang, tad jabid ngimami selagi sekolah madrasah yang
diajarnya masih libur., tapi kalau sudah masuk beliau biasanya jamaah sekalian
di pondok.
Sudah
puluhan tahun tad jabid ‘ngabdi’ di almamaternya itu. “saya takdzim kepada
almarhum kyai saja” begitu jawabnya suatu waktu ditanya orang.
Menjelang
mahrib suasana kian ramai, gang kecil penghubung dukuh kini dipenuhi motor ‘plastik’
bagus-bagus, pengendaranya pun tak kalah kece dengan ‘boy, si anak sialan’.
Mas
amin saat itu bertandang silaturrahmi kerumah pa knur selaku tokoh untuk
membicarakan perihal musyawarah pembangunan langgar nanti malam, “ya saya
setuju saja, nanti pemuda dan maysrakat yang menetukan”.
Mas
amin hanya menjelaskan pencairan uang, karena selama ini uang yang digunakan
untuk belanja bahan bangunan masih dipinjam sama orang-orang. Hari itu juga mas
amin keliling ke beberapa orang terkait piutang uang pembangunan tersebut.
Kentongan
mahrib pun ditabuh oleh mbah sopiah, nenek-nenek yang selalu istiqomah menjaga
kentongan mahrib, isya, dan subuh. Jamaah mulai berdatangan dari anak-anak yang
yang lari-lari, orang tua, dan anak-anak muda yang nongkrong-nongkrong menunggu
selesainya adzan.
Tad
jabid ngimami seperti biasanya, kalau beliau berhalangan barulah pa knur yang
menggantikan. Selesai shalat, tad jabid membuka musyawarah.
Assalamualaikum wr.wb
Jamaah
maghrib yang dirahmati Allah, malam mini anak-anak perantau ingin mebicarakan
terkait pembangunan kolam/tempat wudlu yang akan dipaparkan mas amin, silahkan.
Mas
amin memaparkan perihal pembangunan tersebut sampai tuntas dan dilanjutkan oleh
mas lawi. Jamaah wanita dan pria mendengarkan dengan khusu’ hanya satu dua
anak-anak kecil yang yang sesekali berani tertawa keras karena godaan balanya.
Mas lawi memberikan gambaran lengkap melalui ucapannya.
“Menurut
saya, mendingan kolam itu disambung degan langgar karena lebih menjamin
kebersihannya, kasihan mas dul yang 3 hari sekali ngosoki lantai kolam. Nanti
gambarannya akan pas sebelah utara langgar, dan pintu masuknya dibikin lebih
menjorok kedalam”
“bentar,
tad jabid nimbrung. Itu gambaran ada gambarnya apa tidak?”
“tidak
ada tad” jawab mas lawi dan mas amin sambil menggelengkan kepala.
“lho
mas, gambaran itu baiknya ada gambarnya, biar kita tahu letak persisnya, tempat
krannya dan lain sebagainya”.
“iya
tad, kita belum bikin gambarnya, tapi nanti saya langsung konfirmasi ke
tukangnya saja terkait seberapa kebutuhan dan perlengkapan pembuatan kolam
ini.”
“ya
boleh saja, tukang juga bisa mengira-ira, tapi kita sebagia kaum disini kan
semestinya tahu, tidak serta merta diserahkan tukang seluruhnya”.
Yang
lain masih diam, mendengarkan pembicaraan, sebagian lagi melanjutkan wiridnya
dengan sangat pelan”.
“itu
si hanya pandangan dari kita tad, sebagai perantau” mas amin masuk.
“iya
pandangan, lha sekarang apa yang dipandang? Gambarnya saja tidak ada, bagaimana
mau memandang?”
“Sekarang
gini saja, tad jabid masih melanjutkan. Mas lawi atau mas amin bikin gambarnya
duluya semacam kerjaanya arsitektur itu, lha nanti ditunjukin ke jamaah keudian
ketukang yang siap membangun. Sudah sampai disini dulu, nanti lain waktu kita
lanjutkan, isyanya sudah mau datang” pungkas tad jabid seraya menggeser
tubuhnya menghadap qiblat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar