Kamis, 06 Oktober 2016

Senyuman Bukit Duri




Belasan api unggun dengan sisa-sisa kayu penggusuran menerangi anak-anak dan ibu-ibu warga bukit duri yang sedang asyik menikmati malamnya. Terlihat Marjinal, grup band yang sering menemani para korban ketidakadilan membawakan beberapa tangga lagu menambah hangat suasana pinggir ciliwung, hanya berada satu meter disampingnya.

Acara yang bertajuk ‘Pijar Api Nyanyi Sunyi Bukit Duri’ ini dihadiri oleh warga yang minggu lalu terkena gusuran paksa oleh aparat. Marjinal bernyanyi dengan semangat, membawakan lagu-lagu andalannya seperti Rencong-marencong, Hukum rimba, Tanah air beta, Buruh tani dan Negeri-negeri.

Seperti sudah hafal dengan syair-syairnya, mereka bernyanyi bersama-sama terlebih saat lagu Indonesia pusaka, semuanya berdiri mengenang kesedihan semingu lalu yang dipaksa pindah oleh pemerintah DKI.

Disini tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung dihari tua
Sampai akhir menutup mata. (Potongan Indonesia pusaka)

Diatas terpal, disamping-samping api unggun, diparkiran motor dan dikanan-kiri kerumunan terpal persegi panjang menyanyikannya dengan semangat, tak ada kesedihan disana. Aku rasa hanya diriku yang hampir meneteskan air mata haru-bangga pada mereka yang masih tersenyum lebar.

Ditanah lapang itu, terdapat pula poster-poster tulisan anti-anarkis seperti Ciliwung nyawa kami, Aksi damai tanpa kekerasan dan gambar-gambar perlawanan. Langit dan anginpun seperti mendukung, mengayomi mereka, terlihat dari hembusan lembut angin yang menyentuh para korban. Langitpun terlihat cerah ikut tersenyum.

Beberapa wartawan media social juga hadir, baik yang sudah senior ataupun masih magang mengambil gambar dan wawancara dengan panitia maupun warga. Setelah marjinal selesai menemani dilanjutkan oleh Komunitas Sanggar CIliwung dibawah asuhan Romo Sandyawan membawakan lagu ciptaan mereka, kertas-kertas syairnya dibagikan kepada warga.

Romo sendiri membacakan puisi kemudian menyanyikan dua lagu milik sanggar.

Tepat jam 21.10 wib, saya meningalkan mereka yang sedang asyik bernyanyi karena tampaknya KRL sudah menunggu di stasiun untuk perjalanan pulangku menuju kosan. Malam itu, aku merasakan dua kesedihan, meninggalkan mereka sebagai saudaraku dan wanitaku yang kini cintanya kian memudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar