Pasar buah-sayur Jatinegara, Jaktim 10 Januari 2016. |
Kuliah memang asik, karena selain nuntut
pengetahuan yang belum kita dapet, bisa juga nyawang (kerjaannya jomblo) tentu
dengan berbagai modus, bisa dengan sok cool didepan lawan jenis maupun sesame jenisnya,
bisa juga kelihatan pintar dan selalu bertanya maupun menjawab, apa saja yang
ditanyakan temen kelasnya, duduk didepan dan manggut-manggut tanda dosen
berhasil menjalankan misinya. Atau ada juga yang masih suka dengan gayanya
sendiri yang memang dibawa dari sana (alam ruh).
Ini bukan prasangka buruk lho ya,
apalagi menyangka saya ingin merusak citra mahasiswa sang agen perubahan yang
mempunyai kunci pembangunan nasional dalam saku celananya, wong saya juga
mahasiswa. Heheu
Minggu-minggu ini saya dirundung penyakit
lemestak bertenaga dan suka ngantukan, padahal sebelumnya semangat yang
menjulang tingi saya masukkan kedalam tubuh. Dari jalan kaki beberapa
kilometer, tidur ditempat yang tak terduga dan lapar sampai melilit alias
kelaparan.
Sore ini, saya pengin mengembalikan
semangat itu dengan belajar berjalan lagi ‘titah’, ngeluyur dari mangarai
tiba-tiba kereta berbenti satu stasiun di jatinegara. Wah disini masih jaman
purba, jaman batu, (padahal berbulan-bulan jaman ini sudah menyurut, drastis!).
Melihat-lihat mesin penggiling batu yang banyak membuat irama pasar batu ini masih
kental. Ternyata juga ada beberapa pedagang yang menjual barang-barang kuno,
kayu-kayu penghias ruangan dan lain sebagainya.
Sebenarnya saya sudah 2 kali ini
kesini, yang pertama bulan lalu tidak sengaja menemukan ‘pipa’ (alat bantu pengisap
rokok) pun berbagai macam, kayu, batu, ukiran, sirip ikan sampai plastik yang
dibikin seperti tanduk rusa, dan sangat murah haganya dibandingkan kalau kita
nyari ikan pari dan motong siripnya.
Beberapa kali muter-muter tidak
juga ketemu penjualnya, teryata sudah tutup.
Keluar dengan (hanya) kepuasan
melihat batu, dilanjut jalan ke pasar tradisionalnya, nah baru sampai disana
pedagang seakan tak rela dagangannya dibeli (wong wakunya tutup dan berkemas
kemudian memberikan waktu sepenuhnya untuk keluarga), saya lihat ada beberapa
pedagang yang masih menggelar barangnya, dan itu di deretan sayuran dan
buah-buahan. Fuihhh, lelah dan panasnya badan diredam dengan hehijauan dan
kuningan buah.
Mampirku ke penjual pisang sebenarnya
hanya ingin berinteraksi dan ngecek harga saja, eh malah buru-buru dibungkus.
“Ini berapa pak?” Telisikku.
“15 satu rip.” (satu baris)
“Mahal pak, 20 dapat 2 gimana?”
“Boleh”. (buru-buru dibungkus)
Bingungnya, uang cashku hanya 16
ribu ko.
“Ya sudah, nanti dulu pak, kalau
jadi beli saya kesini lagi”.
“Okay”.
Jalan 100 meter dihadang aa sunda
penjual mie dan gorengan, kini saya mampir dan memberanikan diri mesen mie
karena tek itung-itung uangnya masih lebih. Setelah makan 2 gorengan dan mie
rebus+telor yang saya nikmati betul-betul, saya kembeli ketempat pisang karena
uangku tak sampai 20 ribu dan mau menegaskan bahwa sesungguhnya saya tidak jadi
beli.
Kulihat-lihat tidak ada yang
penjualnya, hanya bebepa temennya saja dan kutitipkan omonganku kemereka untuk
ketidakjadianku ini.
Langkah kakiku kuayunkan kedepan
tanpa menengok kebelakang, bukan karena malu tak punya uang tapi grimis yang
kini beranjak dewasa. langkah-langkahku menyadarkan bahwa saya telah melakukan
hal yang sederhana dan penting lho. Ketika memang sudah janji, sepahit
kopimupun harusnya ditepati. Tak peduli dengan siapa atau dengan apa yang kamu
anggap tidak penting dan kamu anggap tidak ada apa-apanya.
Dengan-Nya pun kamu masih ingkar?