Sabtu, 17 September 2016

Romantisme Gunung Sindoro

Romantisme Gunung Sindoro
Catatan pendakian puncak Sindoro


Karpet hijau terhampar luas diruang tamu, suasana pagi yang sangat dingin membuatku ingin terus selimutan, ditambah aku baru sampai tieng, kejajar, wonosobo jam 12 malam. Rencananya hari ini aku akan muncak ke Sindoro, temanggung dengan temanku yang berangkat dari semarang.

Imam Farouk, Tieng, Wonosobo

Begitu sudah agak pagi aku bangun, mandi, lalu sarapan ditambah ngobrol-ngobrol ringan nan mbully, dan selang sangat lama barulah pamit untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Di Wonosobo ini, temenku seorang kutu buku, bertumpuk-tumpuk buku entah dari mana tertata dikamarnya yang minimalis itu, sakin sayangnya sama bukunya itu, bahkan aku pinjam 1 buku saja belum boleh.

Keluar dari rumahnya, kami menuju basecamp sindoro via Tambi saat itu sudah jam 11 siang, sampai disana katanya belum ada yang naik. “biasanya sorean mas, dari pagi belum ada” ucap ibu penjaga basecamp.

Jalur tambi memang belum lama dibuka, dan menurut info jalur ini lebih susah tapi agak cepat (mungkin tracknya selalu nanjak), kamipun kebasecamp yang di kledung, Temanggung untuk ngecek, butuh sekitar 2 jam untuk sampai kesana. Setibanya, kami melakukan registrasi serta ngecek perlengkapan.
Lain di Tambi, disini sudah ramai motor yang parkir memenuhi gedung (kantor kelurahan desa Kledung, yang sekaligus menjadi) basecamp Sindoro. Setelah ganti costum dan belanja logistik yang diperlukan, seperti air yang cukup, gula jawa, kopi, madu (untuk dopping-an) roti basah, mie instan, makanan ringan, juga obat-obatan pribadi, seperti salonpas, freshcare, hansaplast, da tak ketinggalan rokok kretek, barulah packing.
Rute Sindoro via kledung
Setelah selesai, aku memimpin do’a keselamatan agar berangkat dan pulang dalam keadaan sehat. Oh iya, temenku ini fathuddin, dia mahasiswa UIN Walisongo semester akhir, jadi banyak waktu kosongnya, “ayo, aku sekarang sering kosong” begitu jawabnya ketika aku tawari muncak.

Para pembaca yang dikasih sayangi Tuhan, dia teman akrab saat di pesantren dulu, jadi jangan ada prasangka tak baik tentang kata-kata ‘sering kosong’ itu.

Waktu menunjukan jam 3 lebih sore hari, kami berjalan pelan-pelan cuaca hari ini agak mendung, dari luar basecamp sudah terasa gerimis romantis yang tak membasahi wajah. Sampai dirumah penduduk terakhir, gerimis itu menjelma, menambah jumlah kawannya, kami ikut berteduh disana. Aku juga baru sadar, ternyata kami tidak membawa jas hujan (mantel), dengan gugup aku turun lagi kebawah untuk membelinya.

Kami melanjutkan perjalanan yang ditemani gerimis, menambah rasa romantisme alam yang menyuguhkan tumbuhan tembakau hijau. Digubuk petani tengah-tengah lahan, ada beberapa pendaki juga sedang berteduh, kami tetap melanjutkan, hanya tukar sapa saja. Batu-batu yang ditata rapi juga mempermdah peralanan.
Jalan batu rapi itu melintas disepanjang ladang penduduk, ditenah-tengah ada satu batu besar, mungkin batu yang menggelinding dari atas atau sudah ada dari dulu disitu.

Memakan waktu 1 (satu) jam lebih untuk sampai di pos 1 (1.600 Mdpl), disitu sudah banyak orang yang sedang istirahat, mereka sudah dalam perjalanan pulang aku tahu dari tutur sapa yang kami lakukan, digubuk depannya ada beberapa tukang ojek yang siap mengantarkannya ke basecamp (jasa ojek dari pos 1-basecamp atau sebaliknya 20-25 ribu).

Kami melanjutkan setelah menghabiskan 1 batang rokok dan minum secukupnya. Di pos 1 hanya terdapat 1 gubuk besar dan kokoh, satu lagi gubuk kecil nan rentan.

Dari pos 1, jalan tidak lagi dengan batu kali ini semuanya tanah dan sudah mulai memasuki hutan lebat Temanggung, namun untuk tracknya belum cukup sulit. Kami hanya berhenti beberapa saat untuk hanya minum dan saat itu tak banyak menemukan pendaki yang turun ataupun naik.
Sampai di pos 2 (2120 Mdpl), gema suara adzan maghrib menghampiri telinga, kita istirahat sekaligus shalat menghormati waktu. Cukup lama duduk-duduk di pos 2 untuk memulihkan stamina, air putih dan gula jwa menjadi asupan baru penambah daya.
Foto diambil dari google.com

Baru berdiri dari tempat duduk (gelontrongan panjang pohon sebesar kaki manusia yang membuat huruf L) kami bertemu 2 pendaki yang sedang turun dan akan beristirahat di pos dua, pada pos ini terdapat pula satu gubuk kecil rentan. Kami tukar sapa basa-basi menanyakan info keadaan diatas.

Berlanjut dari pos 2, hutan semakin lebat ditambah matahari tak bisa menemani hari lagi. Disitu kami mulai menyalakan headlight secara bergantian untuk menghemat daya listrik. Perlahan dan sangat pelan langkah kaki kami dalam berjalan, karena semak belukar dantracknya yang sulit membuat kami cepat kehabisan stamina, untunglah madu dan gula jawa menjadi dorongan da setia menemani.

Belum ada seperempat perjalanan dar pos 2 ke pos 3, gerimis mulai besar lagi. Jas hujan yang dari pos 1 kami lepas kini mulai dipakai lagi untuk melindungi tubuh dan barang bawaan terlebih barang pribadi dan elektronik.

Dari sana juga sudah mulai tercium bau belerang, sehingga mengajak kami utuk memasang masker juga, hingga sampai di setengah perjalanan itu, headlight yang kita pakai sudah mulai redup akibat terus menerus di nyalakan. Dengan penerangan seadanya secara bergantian, jalan pelan dan sering istirahat adalah satu hal yang perlu ditempuh.

Medan yang sulit ini menyulitkan kami, karena bebatuan yang cukup licin akibat jalan air dan tinggi-tinggi ini memaksa kami untuk melompat-lompat dengan beban carier yang masih menmpel dipundak kami. Dengan pelan dan santai, itu semua terlewati. Satu kali kami ngaso dan opat (panggilan dari fathuddin) makan roti karena sudah “lapar banget” katanya, dan roti itu baru aku kasih setelah dia minta mulai dari pos 1.

Ini bukan unsure kesengajaan, akan tetapi makan disaat yang tepat adalah hal yang patut diperhitngkan juga bagi pendaki agar tidak kebanyakan makan lalu susah saat mau buang air besar.

Di hutan lidung ini, kami menemukan beberapa pendaki yang turun dan satu rombongan pendaki yang naik. Sampai 2 jam lebih barulah terlihat pos 3, suara pendaki lain dan sorotan beberapa lampu dari pos 3 membuat kelegaan dalam angan.

Akhirnya, memang bukan PHP da benar ternyata pos 3 sudah ada di depan mata. Setibanya di pos 3 (2530 Mdpl), kami langsung mencari tempat untuk mendirikan camp (tenda). Padang luas di pos 3 sudah dipenuhi camp para pendaki yang lain, hingga memaksa kami untuk terus ke atas mencari tempat yang pas mendirikan tenda.

Ada satu hamparan tanah seluas kasur lantai dan miring sebelah kiri jalan, disitu kami mulai mendirikan. Kami membuka jas hujan untuk mempercepat gerakan pendirian camp, namun gerimis masih saja turun membawa teman-temannya akibatnya tubuh kami menggigil sambil mendirikan camp.

Ada satu kendala dengan tenda kami, satu tongkatnya patah sehingga tidak sekuat seperti biasanya. Aku usahakan untuk menyambung dan akhirnya bisa walaupun terlihat miring dan agak retak. 10 menit lebih tenda berdiri dan tanpa berpikir lama, kami ganti pakaian dan cepat-cepat masak air.

Setalah makan, ngopi dan menghabiskan beberapa batang kretek, opat curhat tentang ceweknya. Yang aku tangkap dari pidatonya yang panjang adalah bahwa dia naik tak hanya membawa beban carier (tas gunung) tapi juga beban ketahuan selingkuh. Modyaar!!! Pantesan saja sejak dari basecamp susah sekali untuk seyum. Aku sarankan untuk bikin puisi yang romantis supaya bisa dimaafkan.

Eh benar sekali, dia nyuruh aku bikin puisi. Aku tak jago merajut kata-kata, tapi ya sitik-sitik bisa lah. Waktu menunjukan jam 10 lebih malam hari, aku meluruskan tulang-tulang dan pundak tempat bersandar carier.

Jam 2:32 aku terbangun karena ada suara pendaki lain yang sedang mendirikan camp pas disampingku, tapi aku paksakan untuk terus tidur saja walaupun akhirnya hanya bisa tiduran.
Alarm berdenting jam 3:30, aku bangun dan masak air untuk bikin kopi. Selama -30 menit kami sarapan.

Ada 3 rombongan yang bersama-sama naik ke summit, salah satunya anak purwodadi yang hanya sendirian roti dan kopi, akhirnya aku melihat rombongan yang sedang naik kepuncak dari pos 3 juga. karena temannya hanya sampai pos 1. Memang begitu, naik gunung tdak semudah yang kita kira merasakan kopi yang begitu ceat dingin, bertemu teman-teman dari luar daerah, dan bisa foto dipuncak, tidak. Karena yang dibutuhkan adalah bagaimana bisa menikmati perjalanan (tidak kesusu sampai puncak).

Sekitar 2 jam perjalanan kami disuguhi hutan gundul Lamtoro, bebatuan cadas yang tajam, kemudian Lamtoro lagi. Barulah keluar dari situ terlihat padang edelweiss yang cantik, seindah kamu. Baru jalan beberapa langkah dari padang edelweiss, aku bertemu dengan pendaki lain yang baru turun dari puncak yang kekurangan logistik.
“Mas, boleh minta snacknya?”
“Boleh” jawabku sambil membuka carier yang hanya kuisi dengan air satu botol, roti, dan mie instan. Aku kasih rotinya. Ternyata ada 2 lagi temannya yang sama-sama kehabisan logistik, aku tawarkan ke mereka juga sambil istirahat dan ngobrol sedikit.
Kami naik bareng dengan anak purwodadi, si penakluk sumbing dan ketemu lagi sama anak 3 anak sumatera yang salah satunya kuliah di UIN Jogja. Sepanjang perjalanan sibuk bercanda seperti kenal sudah lama, sebeum sampai puncak ketemu dengan ‘mbah misterius’.
Pasalnya, mbah ini mendaki dari jam 10 malam dan sampai puncak jam 6 pagi kemudian langsung turun lagi tanpa ngecamp dari basecamp-puncak pp, beliau baru turun. Kami sempat foto bersama dan minta do’a supaya selamat sampai puncak hingga pulang ke kosan.

“Kuncine kue yo pasrah karo gusti allah, nikmati perjalanan terus ojo neko-neko” jawabnya saat kita tanya bareng-bareng rahasia sampai puncak. Kemudian kita salaman dan melanjutkan perjalanan.

Sedang berjalan keatas ketemu rombongan cah-cah mBantul yang lebih gokil, kali ini kami dan rombongan bareng terus sampai puncak. Salah satu orang dari rombongan tersebut ada yang dipangil ‘mbah’, tak tahu maksudnya, namun si mbah rombongan ini tukang foto dan tukang bawa yang berat-berat, padahal kalau aku taksir dibanding semuanya mbah ini usianya paling tua.
Kira-kira 50 meter dibawah summit, asap belerenag sangat terasa sampai membuat sesak nafas. Dengan menempelkan salonpas dihidung dan masker yang cukup tebal, anak purwodadi sudah sampai atas duluan. Padahal ada beberapa anak yang bilang bahwa tidak boleh naik sampai atas, karena kabut asap yang mengandung belerang tersebut akan membahayakan.

Kami tetap melanjutkan perjalanan karena tujuan kita memang sampai puncak barang sebentar. Sesampainya disana, sudah ada 3 rombongan saja rombonganku dengan fathuddin, cah-cah mBantul, dan Pendaki gunung Pemuda/i GKI. Diawali dengan rasa syukur yang sangat besar kepada sang pencipta, puncak. Dengan semangat yang menggebu-gebu beberapa anak meneriakkan nama orang-orang yang tersayang, entah ibu, ayah, pacar atau siapapun.
Aku hanya tersenyum melihat keindahan ciptaannya, setelah itu barulah foto-foto tulisan untuk wanita dan organisasi yang sedang aku geluti. Kira-kira 5 menit diatas, beberapa anak mengalami batuk ringan, aku piker ini hanya batuk biasa, namun belerang yang masuk ternyata membuatku semakin sesak saja. Setelah semuarombongan foto dengan gaya masing-masing, aku teriak minta foto bersama sebagai momentum pengabadian.
Ada 5 jepretan foto yang dilakoni oleh si mbah asli mBantul itu, kemudian dua kali aku yang moto. Setelah itu aku pamit untuk turun duluan dan ketemu lagi di camp pos 3. Ada rasa bahagia yang menghilangkan kelelahan setelah sampai puncak.

50 meter turun dari summit, ketemu lagi dengan anak sumatera dan ternyata mereka tidak mampu sampai puncak mungkin karena asap beerang yang menyengat hidung, kamipun turun bersama. Dalam perjalanan menuju camp pos 3, ketemu banyak rombongan yang akan naik maupun turun, karena itu antre dalam perjalanan hingga dekat dengan pos 3, kami bertemu dengan ‘mbah misterius’ itu lagi sedang istirahat.

Saat itu dibelakangnya antre turun sampai ada 20 orang-an, dengan macam-macam basa-basi dan penawaran logistic, mbah itu tetap saja menolak. “saya biasa naik gunung tanpa makan dan minum” katanya. Namun beberapa pendaki tak tega dan tetap memaksa untuk memberikan minuman, satu pendaki dari Depok memberkan nutrisari yang sudah dilarutkan dengan air, dan sedikit permen.

Aku menawarkan gula jawa yang memang masing banyak untuk persediaan dopingan turun juga. “Mbah, bade gendis jawi? (mbah, mau gula jawa?)”, “nah, dulu pendaki ya hanya sangu air sama ini (gula jawa)” ucapnya serasa makan sedikit dari gula jawa itu.

Dengan menunggu beberapa menit, berharap bisa turun bersama-sama, kami tidak diijinkan untuk menemani. “sudah kalian duluan saja, saya biasa istirahat lama. Saya mau tidur dulu barang 30 menit”. Akhirnya beberapa anak yang sempat menunggu turun juga, hanya ada 1 anak yang setia menemani sampai di pos 3, mungkin juga sampai basecamp.

Setelah satu jam perjalanan turun dari summit (puncak) akhirnya kami sampai di sunrise camp. Tempat camp tidak jauh dari pos 3, karena dari kemarin ada 250 lebih pendaki yang naik malam mingu dan kemungkinan besar pos 3 penuh, maka tempat kedua adalah sunrise camp.
Disini ada pedagang makanan ringan, seperti mie istan dan roti kering, namanya mbah kuat. Mbah kuat ini akan turun seminggu sekali untuk membawa dagangannya lagi keatas, sebelumnya memang berada di gubuk pos 3, namun hari itu sudah ditempati oleh temannya yaitu mbah banar yang sama-sama jual makanan kecil, namun mbah banar juga menjual mendoan.
Mbah kuat dengan dagangannya

Fathudin, mbah kuat, saya, dan anak solo
Kami sempat ngobrol-ngobrol dengan mbah kuat di padang sunrise camp bahkan sempat foto bersama, disitu  sudah ada orang depok yang ternyata membawa kresek kecil berisi air milik mbah misterius itu, air itu hasil pemberian dari pendaki lain yang tidak tega melihat si mbah berjalan sampai puncak. Setelah ku ketahui, ternyata mas situ orang Margonda, Depok yang saat ini bekerja di Solo.
Dirasa cukup, kami ke pos 3 untuk istirahat barang sebentar dan beres-beres camp. Barulah memasak sisa logistik yang kami bawa dan nyeduh kopi untuk diperjalanan turun nanti. Lagi enaknya masak mie instan, ada satu pendaki yang nongol kedalam tenda kami, “mas, ini.” Sambil menyerahkan mie gelas. Aku kira sampah, ternyata masih ada dan kami menyukuri dengan cara memasaknya.

Setelah makan selesai, bongkar tenda dan kembali berdo’a perjalanan pulang, kami mencari si mbah dari mBantul, yang bareng di puncak pagi tadi. Tidak banyak waktu yang kami gunakan untuk mencari si mbah, setelah ketemu dan bertukar Bluetooth kami pamit melanjutkan perjalanan.

Perjalanan turun memang sangat asyik, karena selain membawa bahagia dari atas, aku juga merasakan akan bertemu rumah. Turun dari pos 3 bareng-bareng dengan beberapa rombongan, saling canda dan ngejek satu sama lain itu hal yang lumrah, asal tidak kebablasan (bisa ngerem). Medan yang semalam kami lalui, kini tertapak lagi. Meter demi meter tanah seakan tidak rela ditinggalkan. Medan yang semakin mudah, membuat perjalanan sangat asyik.

Setengah perjalanan dari pos 3, kami bertemu dengan 3 orang yang sedang istirahat sambil ngrokok, sedagkan kami lewat saja dengan permisi. Sebenarnya tidak terlalu lama untuk perjalanan pulang, hanya saja antre bareng pendaki lain yang sama-sama turun. sebelum tiba dipos 2, kami mendapati 3 orang pendaki tadi di belakang kami.

Aku ngajak bercanda sepanjang jalan dan mereka welcome, sangat asyik yang begini. Ketiganya orang karanganyar, Solo. Kalau mereka pendaki beneran, anak gunung lawu, begitupun sepanjang perjalanan ngorol gunung lawu. Yang satu namanya mas tri, yang 2 aku tidak tanya aku ngobrol banyak dengan mas tri ini. “Kemaren juga tayang di Trans7 lho mas, tentang misteri Lawu. Seperti adanya kebakaran hutan, pasar dieng (pasar setan)”. Mas tri memulai.
“lha itu ceritanya gimana mas?” tanyaku memburu.
“Kalau yang kebakaran, kemaren juga ada korbannya kena timbunan api. Tapi cerita orang selamat, katanya pas kebakaran apinya itu ada diatas. Nah dia sedang jalan terus apinya hanya melintas menyambar hutan sampingnya kemudian dia lari sampai basecamp pingsan. Kalau pasar dieng (begitu kita menyebutnya) itu ada diatas deket puncak, katanya ada suara ‘bade tumbas nopo mas/mbak?’ (mau beli apa mas/mbak?), nah disitu kamu harus ngasih uang seberapapun nilainya kemudian ngambil batu atau daun yang disitu ya layaknya orang jual-beli”.
“Ada juga gerbang masuk dunia lain, mas tri melanjutkan. Jadi itu hanya berbentuk gerbang tapi yang tahu atau yang bisa melihat dunia lain, itu bisa masuk”.
“jadi, kalau orang biasa tidak bisa lihat ya mas”. Tanyaku lagi.
“tidak mesti juga mas, saat itu ada satu pendaki sedang turun yang dibawa sama 7 emak-emak, ya pakaiannya seperti emak-emak pake kebaya terus gelungan (selendang yang dibuat kerudung) , nah pendaki ini diajak masuk dengan ajakan bahasa jawa “ayo mas melu kulo (ayok mas, ikut saya)”. Dia ikutin saja sampai bawah, nah sampe bawah ternyata diatas sedang kebakaran hutan, Alhamdulillah dia selamat” begitu ceritanya.

Aku dan opat yang terus kepo, sangat terhibur dengan cerita-cerita nyata tentang lawu,
“jadi tertarik untuk ke lawu pet”,
“ayo mas menjat lawu” sambung mas tri.
“Wah, kapan-kapan mas :D”
“saat tujuh belasan kemaren, malah ada 3000 pendaki via cemoro sewu (karanganyar) dan 500 pendaki dari cemor sewu (jawa timur) jadi totol dipuncak ada 3.500 orang.” Lajut mas tri
“itu tidak over load ya mas, hehee” kujawab dengan bercanda.
Sampai di pos 2, kami bertemu lagi dengan rombongan cah mBantul. Ternyata mereka tidak jauh dibelakangku. Diitu juga sempat saling melempar candaan. Akhirnya kami turun bersama menuju pos 1. Dari pos 2 ini, jalannya memang mudah, tidak seperti diatas, sudah agak rata dan sedikit batu-batuan. Bahkan sebelum sampai dipos 1, dijalanan yang agak rata terdapat jasa ojek  juga.

Kami kehilangan mas tri dan rombongan dari mBantul yang jalannya tanpa istirahat dan bisa nyalip pendaki lain, kami hanya bareng sama satu temennya mas tri yang kakinya terkilir dan ikut ngojek. Sampai pos 1, sudah banyak tukang oejk yang ngantri kaena memang ini waktunya turun. jam sudah menunjukan 3 lebih sore hari.


Perjalanan menuju pos 1.
Kami pun istirahat di pos 1 dan bertemu lagi dengan anak depok tadi, lama kami ngobrol-ngobrol dan makan jajanan ringan sisa diatas. Begitu baru turun dari pos 1, ada 2 pendaki dari pekalongan dan bertemu beberapa rombongan yang juga turun bersama. Ada satu pendaki wanita yang terlihat anggun, entah dari mana asalnya aku hanya berani menyapa menawarkan minum.

Sampai di masjid samping basecamp beberapa pendaki mengistirahatkan badannya serta bersih-bersih. Aku dan opat langsung ke sekertariat ngambil barang titipan dan lanjut makan. Satu nasi kucing isi tempe gorong dan 2 lembar mendoan mengisi perutku, nikmat sekali rasanya. Seperti inilah orang yang tanpa munafik akan mengucapkan beribu syukur.

Ditambah, ternyata cewek anggun yang tadi bareng turun sedang makan bakso pas samping tempat kami makan. Maka, berkah mana lagi yang akan engkau dustakan?



                                                                                                            Semarang, 8 September 2016

Jumat, 16 September 2016

Tujuh tahun Anumku

Seven years, Anum.

Hari ini ulang tahun adikku, dia bernama Ahmad Aniq Nurul Muktafi (Anum). Aku anak pertama, adik pertamaku Muhammad Taftazani sekarang mondok di Kempek, Cirebon. Sedang Anum adikku yang kedua.
Setelah melewati tiga jenjang pendidikan (Paud A, B, dan TK) kini Anum masuk SD IT Mereng. Semangat belajarnyapun kini bertambah, sesekali belajar arab, lalu jawa (Hanacaraka).
Foto diambil dari Deamaurita.blogspopt.com
Dulu, anum itu bandel dan manja, tapi sekarang sudah tidak. “sudah gede” katanya. Dia anak yang setiap hari menemani ibu dirumah, karena aku dan adik pertamaku merantau.
Dengan seragam putih-merahnya, anum sudah berani berangkat sendiri (meski orangtaku sesekali nganter karena tak tega) dalam bermainpun sukanya dengan kakak-kakak kelas. Kini injakan kakinya yang ketujuh tahun, usia yang sedang gemarnya bermain dan belajar.
Dalam sekolah ini, Anum paling suka menghafalkan tugas-tugas dari gurunya dengan mental yang berani. Sesekali, ingin kuselipkan pelajaran-pelajaran kedaerahan (jawa) yang sekarang sudah dinomersekiankan biar jadi pemuda tangguh dan mengerti jati diri leluhur.
Aku juga senang saat mendengar dia menyanyikan ‘bang-bang wetan’ dengan suara falsnya, minimal nantinya tak terbawa arus yang semakin tarik-menarik antara Amerika dan China. Jati diri sebagai pribadi dan bangsa sangat penting!.


                                                                                                                        Mereng, 27 Juni 2016

Mengangga-dianggap

MENGANGGAP-DIANGGAP
Oleh: Zaenun Nu’man


Aku yang merasa dianggap
Ada yang merasa tidak dianggap
Ada yang menganggap dirasakan
Ada yang menganggap tidak merasakan
Ada perasaan yang diangap
Ada perasaan yang tidak dianggap
Ada rasa yang ditanggapi
Ada yang hanya menganggapi
Ada yang cuman dianggap
Ada yang sama sekali tidak,
Baik menganggapi, ditanggap dan dianggap
Sama sekali tidak

Tolong,
Biarkan diri masing-masing beranggap
Karena tak ada dan tidak ada sama sekali anggapan yang tidak benar.


                                                                                    Mereng, 22 ramadhan 1437 H

Manusia desa, mereka itu…..

Manusia desa, mereka itu…..
Oleh: Zaenun Nu’man


Terik siang, kini menyeruak masuk ke semua kolong dan sudut rumah, saat orang-orang kota dengan tenangnya ‘ngadem’ di bawah AC.
Jauh disana, orang desa duduk-duduk sambil buka baju menikmati semilirnya angin. AC alami.
“tad jabid!!!” kang likun memanggil.
“ya, ada apa kun?” jawab tad jabid yang sedang jalan menuju mushola.
“begini tad, lebaran kan sudah seminggu berlalu, pemuda rantau ingin rembugan tentang pembangunan kolam langgar kita”
“kapan?”
“nanti malam selepas mahriban tad”
“baiklah, nanti saya hadir insya Allah” pungkas tokoh agama sambil melanjutkan jalannya.
Foto diambil dari Jendeladuniamanusia.blogspot.com
Lantunan shalawat jono dengan bahasa jawa kuno menambah rasa kantuk warga yang bau pulang dari sawah.

Tamba ati iku lima ing wernane
Maca qur’an kudu weruh ing hurufe
Kapindone shalat wengi lakonono
Kaping telu wongkang shaleh, ngumpulana
Kaping papat weteng iro ingkag luwe
Kaping lima zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine, sapa bisa ngelakoni
Insyaallahu ta’ala nyembadani

Cukup lawa kang jono dan wak mahlan shalawatan, setelah setengah jam lebih barulah qomat. Selesai sahalat warga kampong sirema seakan disurupi, tidur siang adalah hal yang sangat nikmat untuk istirahat saat panas dan lelah.
Menjelang sore, kang jono yang biasa adzan kini tek terlihat sampai jam 4 sore. Dengan sisa-sisa suaranya wak mahlan mbadali. Jamaah ashar lebih banyak disbanding dzuhur yang hanya 5 orang, tad jabid ngimami selagi sekolah madrasah yang diajarnya masih libur., tapi kalau sudah masuk beliau biasanya jamaah sekalian di pondok.
Sudah puluhan tahun tad jabid ‘ngabdi’ di almamaternya itu. “saya takdzim kepada almarhum kyai saja” begitu jawabnya suatu waktu ditanya orang.
Menjelang mahrib suasana kian ramai, gang kecil penghubung dukuh kini dipenuhi motor ‘plastik’ bagus-bagus, pengendaranya pun tak kalah kece dengan ‘boy, si anak sialan’.
Mas amin saat itu bertandang silaturrahmi kerumah pa knur selaku tokoh untuk membicarakan perihal musyawarah pembangunan langgar nanti malam, “ya saya setuju saja, nanti pemuda dan maysrakat yang menetukan”.
Mas amin hanya menjelaskan pencairan uang, karena selama ini uang yang digunakan untuk belanja bahan bangunan masih dipinjam sama orang-orang. Hari itu juga mas amin keliling ke beberapa orang terkait piutang uang pembangunan tersebut.
Kentongan mahrib pun ditabuh oleh mbah sopiah, nenek-nenek yang selalu istiqomah menjaga kentongan mahrib, isya, dan subuh. Jamaah mulai berdatangan dari anak-anak yang yang lari-lari, orang tua, dan anak-anak muda yang nongkrong-nongkrong menunggu selesainya adzan.
Tad jabid ngimami seperti biasanya, kalau beliau berhalangan barulah pa knur yang menggantikan. Selesai shalat, tad jabid membuka musyawarah.

Assalamualaikum wr.wb
Jamaah maghrib yang dirahmati Allah, malam mini anak-anak perantau ingin mebicarakan terkait pembangunan kolam/tempat wudlu yang akan dipaparkan mas amin, silahkan.
Mas amin memaparkan perihal pembangunan tersebut sampai tuntas dan dilanjutkan oleh mas lawi. Jamaah wanita dan pria mendengarkan dengan khusu’ hanya satu dua anak-anak kecil yang yang sesekali berani tertawa keras karena godaan balanya. Mas lawi memberikan gambaran lengkap melalui ucapannya.
“Menurut saya, mendingan kolam itu disambung degan langgar karena lebih menjamin kebersihannya, kasihan mas dul yang 3 hari sekali ngosoki lantai kolam. Nanti gambarannya akan pas sebelah utara langgar, dan pintu masuknya dibikin lebih menjorok kedalam”
“bentar, tad jabid nimbrung. Itu gambaran ada gambarnya apa tidak?”
“tidak ada tad” jawab mas lawi dan mas amin sambil menggelengkan kepala.
“lho mas, gambaran itu baiknya ada gambarnya, biar kita tahu letak persisnya, tempat krannya dan lain sebagainya”.
“iya tad, kita belum bikin gambarnya, tapi nanti saya langsung konfirmasi ke tukangnya saja terkait seberapa kebutuhan dan perlengkapan pembuatan kolam ini.”
“ya boleh saja, tukang juga bisa mengira-ira, tapi kita sebagia kaum disini kan semestinya tahu, tidak serta merta diserahkan tukang seluruhnya”.
Yang lain masih diam, mendengarkan pembicaraan, sebagian lagi melanjutkan wiridnya dengan sangat pelan”.
“itu si hanya pandangan dari kita tad, sebagai perantau” mas amin masuk.
“iya pandangan, lha sekarang apa yang dipandang? Gambarnya saja tidak ada, bagaimana mau memandang?”

“Sekarang gini saja, tad jabid masih melanjutkan. Mas lawi atau mas amin bikin gambarnya duluya semacam kerjaanya arsitektur itu, lha nanti ditunjukin ke jamaah keudian ketukang yang siap membangun. Sudah sampai disini dulu, nanti lain waktu kita lanjutkan, isyanya sudah mau datang” pungkas tad jabid seraya menggeser tubuhnya menghadap qiblat.

LESUNYA MERDEKA RAYA

LESUNYA MERDEKA RAYA
Oleh: Zaenun Nu’man

Sungai bergerak ke muara
Membendung derap langkah pasukan amatir
Yang menderu debu, meninggalkan telapak hitam

Tanah basah
Tak menghantarkan mereka ke gerbang jaya
Seringakali menjatuhkan dui-duri derita
Memperlambat pendakian

Awan pun berjejer menghitamkan bumi
Menambah jumlah siluet kompi-kompi TRI
Yang terbujur sepi
Kekasih hati, nan pahlawan sejati

Api yang mencakar-cakar hijau pohon dan biru langit
Takkan mampu merobek semangat gerakan bamboo tua

Tertunduk lesu
Mulai meneteskan air mata
Menyaksikan gebyar-gebyar dan pernak-pernik merah-putih,
Yang mulai memudar
Memandang kecewa barisan orang tua, yang mengernyitkan hampa
Menyaksikan kaum muda, remaja dan dewasa dengan gaya ‘anti’
Aku, masih tertunduk lesu



                                                                                                                        Mereng, 28/82016

Anak ingusan

Rabu, 24 Ramadhan 1437 H


Hari ini, aku sering memikirkan untuk hidup dijogja. Aku melihat jogja itu sangat nyaman dengan bangunannya, sejarahnya, dan ritme orang-orangnya. Bahkan wonosobo dan temangung pun mulai mencengkram rindu, suhu dingin dan hamparan tembakau lebih-lebih kepadanya yang menyengat rindu lebih dalam.
Aku juga masih merasa kecil didepan orang tuaku, masih merasakan ditimang, disusui, dan diberi asupan-asupan makanan. Tapi bukan berarti perjuangan yang pernah aku lakukan sia-sia karena pekerjaan anak kecil, hanya beda dunia saja.

Hari ini pula aku lebih sering memikirkan IPNU, pengkaderan dan aksi untuk eksistensi yang lebih bagus lagi, karena seorang pemuda/pelajar pun harus dididik moderat sejak kecil supaya ketika dewasa pikirannya pun netral, dapat bergaul dengan masyarakat luas.

Mengajarkan arti nakal kepada ibuku

Ahad, 31 juli 2016

 
Foto diambil dari Patriotgaruda.com
Hari ini, saya mengajarkan arti nakal kepada ibu, karena nakal yang sesungguh-sungguhnya diperlukan. Dari sore, ibu sibuk mempersiapkan makanan dan peralatan untuk rutinan keluarga yang datangnya empat tahun sekali, mirip piala dunia memang. Malam-malampun kita sibuk mengurusi segala sesuatunya.
Maklum, ini acara keluarga besar. Walau bulan syawal sudah berada dibelakang, tapi budaya halal bi halal tetap berlanjut.
Nah, pada pagi hari sekitar jam 6:15 am ibuku dapat telfon dari sahabatnyayang sama-sama guru paud Al-mashir. Ibuku medengar berita itu terkejut dan tentunya nyebut. Padahal saat itu masih banyak sekali bahan makanan yang belum dimasak.
Berita itu adalah undangan diklat Himpaudi se-Pemalang, dalam hitungan ibuku diklatnya hari senin, jadi acara keluarga tetap bisa dipegang. Mulai saat itu, ibuku bingung setengah main dan kudengar sering menyebut istighfar tak begitu lama ibuku nelfon saudara untuk mbantu masak.
Posisiku sedang ngasih makan ayam lanjut nata-nata ruangan depan. tak begitu lama, ibu-ibu tetangga datang mbantu, ibu sudah kelihatan sedikit lega (sedikit lho). Mungkin ibuku berpikir lebih baik berangkat diklat karena akan mempengaruhi laporan hasil didikannya selama ini, tanpa piker panjang, ibuku mandi.
Lagi-lagi rekan ibuku nelfon katanya sudah ditunggu diperempatan besar Warungpring karena memang berangkat bersama. Ibuku dandan sekenanya, sampai bilang ke Anum, adik keduaku untuk tidak usah berangkat sekolah dulu (mungkin karena ga ada yang ngurus).
“bu, Anum tetep sekolah biar nanti aku yang ngurus”. Sekian itu aku menyiapkan perlengkapan anum sampai mengantarkan ke sekolah, ibuku masih sibuk nelfon. Aku bilang ke ibu bahwa prioritas sekolah penting, tapi melayani tamu keluarga besar lebih penting, tapi tak dihiraukannya, beliau tetap tata-tata barang yang akan dibawanya ke Pemalang.
Ibuku tak mau semua yang ditanam dalam sekolah disia-siakan, apalagi setiap hari kerja sangat disiplin berangkat paling awal. Dalam keluarga, hanya ibuku yang mau terjun dalam instansi formal, memang dalam sejarah banyak dari keluargaku yang jadi pendidik tapi semua non forma, ada yang di madrasah diniyah, mulang ngaji di pesantren, langgar, dan rumah.
“ayo nu, antarkan ibu cepet! Sudah ditunggu dari tadi”.
Aku keluar manasin motor bentar lalu jalan, baru berjalan sekitar 10 menit, aku ngomong ke ibu pelan-pelan.
“bu,,, diklat itu bisa ada lagi karena itu program diknas dan boleh izin ko. Tapi acara keluarga itu empat tahu sekali, menurutku ibu izin saja ya atau saya saja yang minta izin ke kepalanya”.
Mendengar itu, ibuku luluh, kemudian berkata:
“iya ya nu, ya udah ibu izin sajalah”.
Tanpa menjawab lagi, aku langsung memutar motorku dan parkir depan rumah.
Dalam hati, aku berkata:

Aku yang hari ini dilantik bahkan acara-acara besar yang menuntut untuk datang bisa izin, karena punya prioritas lain, mungkin aku juga sering izin ga masuk kuliah, ya minimal izin ke diri sendiri. :V