Sabtu, 05 Maret 2016

Keterbukaan di 'Dunia Alkisah'

Keterbukaan di 'Dunia Alkisah'

Di sekitar kita sering terdengar pemeo yang populer dan diam-diam disepakati oleh masyrakat luas: “Anda boleh melontarkan kritik apa saja, tapi harus diperhatikan cara dan tempatnya. Tidak semua hal bisa kita ungkap di depan umum...”
Itu edisi berikut dari klise “kritik bebas, asal konstruktif”, atau “melontar pendapat bebas, tapi harus bertanggung jawab”. Dan semua itu merupakan pola-pola komuikasi kontemporer yang wantah, sesudah masyarakat “modern” kita gagal mentransformasikan idiom-idiom komunikasi budaya tradisional seperti sanepan, guyon parikena, atau yang secara verbal sering kita terjemahkan menjadi “kena ikannya, tak keruh airnya”.
Kita bisa memahami semua itu dalam kerangka pergeseran-pergeseran bentuk ungkap budaya, perubahan-perubahan etika komunikasi sosial, atau mungkin Anda temukan kerangka lain: itu hanyalah suatu jenis retorika poitik,eufemisasi bahasa, relativisasi epistemologi, yang keseluruhanya bermuara pada pusat-pusat kepentingan politik. Dan itu “bisa dipahami” karena hampir seluruh mekanisme kebudayaan masyarakat kita berposisi subordinatif terhadap kepanglimaan dunia politik.
***
            Siapakah yang menetukan “cara”, “tempat”, “ditempat umum”, yakni antangan disampaikannya suatu kritik? Orang yangmengkritik atau pihak yang dikritik?
            Setiap kode etik komunikasi mengandaikan suatu tatanan objektif yang disepakati secara imbang oleh kedua belah pihak. Saya kira masyarakat kita memiliki kelemahan serius dalam hal tersebut. Kalau Anda bermaksud menyamaikan kritik kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang dilakukan oleh Pak RT, dalam konteks budaya kita, harus dilakukan dengan cara dan ditempat yang dikehendaki oleh posisi nilai (psikologis, kultural) yang berlaku pada diri Pak RT. Bukan dengan cara dan ditempat yang mau atau ditentukan oleh sebuah konvensi objektif, sebab setiap konvensi memerlukan negoisasi berimbang antara Anda dengan Pak RT.
            Dengan kata lain, pihak yang mengkritik berposisi menyesuaikan diri terhadap orang yang dikritik. Penesuaian itu bisa bermakna ngemon atau mengabdi, dan meletakkan Anda pada posisi mengalah atau sungguh-sunguh kalah. Dan jika masih ada kalah-menang, yang berlangsung bukanlah dialog kritis, melainkan penekanan dan ketertekanan kekuaaaan.
            Pada latar kultural semacam ini tidak mengherankan bahwa tatkala sepanjang tahun 1990 dilontarkan isu keterbukaan, ia terasa begitu manis ditelinga, namun ia adalah “kembang plastik” dalam relitas budaya. Hanya kita-kita yang lugu yang tidak segera peka bahwa isu-isu bergerak tidak menuju akulturasi suatu nilai, melainkan suatu metode poitik kebudayaan. Atau lebih gamblang lagi: itu kembang gula dunia politik.
            Sampai hari ini kita masih belum bisa membantah kenyataan bahwa kebudaaan negara dan masyarakat kita tidak semakin meyediakan infrastruktur dan infrakultur untuk keberlangsungan egalitarianitas mekanisme dialog. Pelawak Asmuni pernah secara cerdas nyeletuk: bagaimana akan terjadi musaywarah kalau yang satu kuat dan yang satu lemah, dimana-mana yang satu tambah kuat dan lainnya tambah lemah.
            Pada metafora lain sering disebut orang Indonesia itu tengeng lehernya. Ia cenderung tidak bisa menoleh ke kiri atau ke kanan. Bisanya mendongak ke atas atau ndingkluk  ke bawah.
            Artinya, aspirasi dan tradisi budayanya, baik yang”asli” maupun yang direkayasa oleh budaya politik, tidak egaliter. Orang tidak begitu punya kemampuan untuk memandang orang lain dalam posisi sejajardi kiri atau kanannya, karena naluri dan cara pandang yang dididikkna ialah memandang orang lain sebagai atasan atau bawahan. Manusia Indonesia seolah-olah hanya mempunyai budaya vertikal dan tidak memiliki garis budaya horizontal.
            Tentu saja kita tak beerkeberatan apapun apabila yang kita omongkan adalah tata internal duniabirokrasi atau organisasi kemiliteran. Akan tetapi yang kita jumpai dalam masyarakat kita adalah salah-kaprah yang sangat parah dalam soal ini.
***
            Seorang camat tetu saja memandang bupati sebagai atasannya. Tetapi celakanya rakyat juga memandang pejabat sebagi atasan. Ini warisan sejarah feodal dan dikukuhkan pula oleh refeodalisasi budaya, yang rupanya diperlukan oleh poltik birokrasi negara kita. Dan karena itu lebih celaka lagi karena pejabat yang memandang rakyat sebagai bawahan. Hal ini bahkan terefklesikan ke dalam idiom kebahasaan: rakyat selalu disebut rakyat biasa, sehingga pejabat pastilah rakyat luar biasa.
            Orang miskin merasa bahwa orang kaya adalah “atasan”nya. Ulama menganggap bahwa para jamaah adalah “bawahannya”. Otoritas dalam bidang apa pun ha,pir selalu melahirkan tata budaya hirearkis-vertikal. Murid sekolah secara psikologis melihat guru adalah atasan dan susahnya banyak dosen-dosen juga meletakkan mahasiswa seolah-olah bawahannya.
            Festival” salah kaprah seperti itu mungkin tak pernah Anda bayangkan seberapa kerugian yang ditimbulkannya. Baik kerugian fungsi, kerugian ilmu, kerugian kretvitas, serta kerugian kesejahteraan secara menyeluruh. Kalau seorang guru melihat muridnya sebagai bawahan, maka prospek kreativitas keilmuan cenderung menumpul, baik pada guru maupun murid. Kelau seorang pegawai memandang masyarakat sebagai “orang di dataran rendah” kata prinsip fungionalitas birokrasi menjadi rusak, filosofi negara dan rakyat menjadi terbalik, sementara itu tinggal kita hitung berapa defisit proses, kerugian demokrasi, bahkan berapa jumlah uang angaran yang menjadi tidak efektifterhadap kehenak pembangunan yang sebenarnya.
            Yang paling menyedihkan ialah kenyatan bahwa banyak kalangan masyarakat umum, bahkan kaum terpelajar dan birokrat, yang tidak memahami bahwa itu semua salah-kaprah. Generasi mutakhir kita dilahirkan, dibesarkan dan dididik  oleh atmosfer yang sedemikian, dan mereka tidak cukup menyadari bahwa seharusnya tidaklah demikian.
***
            Seorang ketua RT berpidato diiringi ajudan yang membawakan kacamatanya. Seseorang dosen kehilangan ketrampilan untuk membuka pintu mobil dan membawa tasnya ke kasntor fakultas, sehingga diperlukan pembantu yang menolongnya. Pak kades, pak camat, atau apalagi pak bupati memilih bentuk upacara dalam performance-nya dalam konteks apa pun dengan ubo rampe ala pangeran atau raja. Seorang direktur perusahaan atau seorang kasubdit merasa bahwa tatkala makan direstoran atau buang air besar di WC ia tetaplah seorang direktur dan kasubdit.
            Pemahaman budaya masyarakat kita makin kehilangan pilah antara fungsi dan status. Seseorang tidak bisa membedakan lagi –pada dirinya sendiri aupun orang lain- kontes-konteks yang berbeda saat ia menjadi kapten, mejadi pemain sepakbola, menjadi bapak rumah tangga, serta saat ia menjadi manusia.
            Tentu saja pada diri setiap orang bercampur dan terkait antara semua status dan fungsinya, namun ada yang namanya galengan kesadaran, ada manajemen dan irigasi yang membeda-bedakan kedudukannya di ruang dan waktu yang berbeda.
            Dengan itu semua bisa kita bayangkan betapa kisruhnya silang sengkarut konteks dan pola-pola komunikasi antara manusia dalam kedudukannya yang begitu beragam setiap saat. Dan dalam keruwetan seperti itu tidak mengherankan apabila kultur dialog tidak cukup memiliki ladang untuk tumbuh subur.
            Kalau di kelas sekolah atau bangku universitas saja kultur dialog atau tradisi interargumentasi tidak cukup hidup, maka apalagi pada skala sosial yang lebih luas dari itu. Tatkala seorang wartawan bertanya kepada saya tentang isu keterbukaan, saya katakan, “ itu pertanyaan terlalu lugu. Coba Anda omong terbuka ke Pak RT, dan tunggu jumlah akibat-akibatnya!” Atau kemukakan pendapat Anda secara terbuka tentang tentara kepada tentara.
            Dan kalau mekanisme komunikasi budaya yang berlangsung tidak dialogis, tentu monolog yang terjadi. Bagi kaum atasan \, monolog ialah melontarkan otoritas terhadap bawahan, monolog ialah melamun sendiri atau menggerunda di jalan trotoar, minum bir, beli SDSB, atau rumah sakit iiwa.
            Kemudian resultan dari keseluruhan kultur tanpa dialog itu, seanjang yang kita ketahui, masih tersisa kemungkinan untuk berdialog. Ialah apabila tema dialog itu menyangkut dunia alkisah. Artinya, hal-hal yang tidak secara langsung menyangkut persoalan-persoalan kita sendiri.
Anda boleh memperdebatkan masalah keadilan sosial secara terbuka dan tanpa risiko politis apa un, asal yang dimaksud adalah keadilan sosial dari masyarakat anonim, atau sebaliknya “ketidakadilan sosial di Nairobi,” misalnya. Anda boleh mengecam intervensi Irak ke Kuwait, aal jangan dihubungkan dengan kasus timor timur.
Iklim semacam itu melahirkan generasi kelu dan bisu, karena bapak sejarah mereka tertutup dan ngratu.[][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

JAJAN ITU 'PENCARIAN'

JAJAN ITU 'PENCARIAN'

Sangat sedikit orang yang tak suka jajan. Sejak masa kanak-kanak, ketika kita mulai masuk sekolah, salah satu kenikmatan utama dalam “budaya sekolah” adalah jajan. Orang tua “wajib” memberi sangu kepada kita, karena keiasaan jajan itu sudah merupakan kebudayaan.
            Kemudian kita menjadi besar, dan sesekali terhenyak menyadari betapa masyarakat kita ternyata tergolong jenis makhluk Tuhan yang dihinggapi “jajan mania”. Warung-warung mungkin saja memiliki omzet yang membuatnya terletak dibaris awal skala perputaran uang dalam perekonomian kita.
            Seringkali kalau melintasi dijalanan dan menjumpai orang berjualan makanan di mana-mana, terpikir dibenak kita: “bangsa kita ini, kayaknya, kerjanya makan melulu….”
Kalau sesekali ke luar negeri, menghayati kehiidupan disana beberapa lama, yang paling tajam terasa adalah kita tidak bisa matmatan di warung. Ada sih, coffe shop, bar, pub dan kios-kios snack dan soft drink disana-sini, tetapi “budaya makan minum” di luar Indonesia tetap saja kalah hangat dibanding yang kita miliki di negeri sendiri.
Terkadang, pikiran ini sampai juga pada semacam asumsi, jangan-jangan kreativitas bangsa kita yang paling konkret di bidang makanan. Dari satu bahan mentah, ketela misalnya, bisa diciptakan puluhan jenis makanan. Kelak kalau kebudayaan kita sudah benar-benar industrial, yang kita cemaskan ialah apa masih bisa cari wedang sekoteng atau kopi nasgithel. Sebab makin tinggi tingkat budaya sebuah warung, semakin encer kandungan the dan kopinya. Perubahan dari warung ke restoran adalah pengeceran bahan minuman, penghambaran, dan deintesifikasi kenikmatan.

Pandai berepigon
Di bidang-bidang selain makanan, kita baru pandai berepigon, meniru, meneruskan, atau menanganpanjangi kreativitas sedulur-sedulur kita yang kreatif di luar negeri. Industry pesawat IPTN mungkin bisa mengagumkan, tetapi secara keseluruhan itu bukan kretivitas sendiri. Habibie memang menyumbangkan system sayap pesawat, misalnya pada Airbus 300-600 yang membuatnya lebih safe waktu landing, tetapi itu parsial. Di bidang industri mobil, orang Jawa terkenal justru bukan bagaimana berinovasi menciptakan system otomotif baru, melainkan mengolah kembali barang yang sudah rongsokan, dibikin bisa jalan kembali.
Tetapi di bidang makanan, jangan coba-coba melawan bangsa Indonesia. Dari yang paling elite hingga yang paling proletar, makanan dikreativisasi. Kita bisa menyiapkan multimenu yang setan dan jin mungkin mengeluarkan air liur. Namun di saat lain kita juga siap makan enceng gondok, dan papaya mentah, atau kalau perlu –ketika ndadi- kita makan kaca dan silet.
Maka tradisi jajan adalah bagian yang memang sangat hidup dari dialektika kreatif dibidang budaya makan itu.

Kenapa jajan?
Meskipun jarang, sebaiknya menang anda pergi jajan. Sema dengan kalau Anda membayar rumah, Anda buka sebaian dindingnya untuk dijadikan pintu dan jendela.
Kenapa jajan? Karena manusia memang “di-set-up” oleh Allah untuk menjadi makhluk yang dinamis. Makanan utama manusia sesungguhnya adalah kemungkinan. Rumah, lemari es, meja makan, ranjang tidur, lebih menunjukan diri sebagai kepastian. Maka penghuninya merasa haus akan sesuatu yang lain, yakni kemungkinan di luar rumah.
Allah konsisten pula. Ia ciptakan gairah di dada manusia untuk “menguak langit”, untuk memandang ke luar jendela, dan mungkin beranjak ke luar pintu. Pada saat yang sama, Ia sodorkan beribu fasilitas ke luar rumah itu, dan Ia izinkan pula untuk menikmatinya sampai batas tertentu. “Makanlah dan minumlah,” demikian firman-Nya, “hanya saja , jangan berlebihan”.
Kata –kata Allah ini diungkapkan tidak terutama sebagai peristiwa hokum,melainkan juga berkonteks kesehatan dan keselamatan hidup. Artinya, dalam perintah dan larangan Tuhan, yang terpenting bukan boleh dan tidak bolehnya, melainkan petunjuk tentang keselamatan dan ketidakselamatan.
Allah membukakan kebebasan bagi manusia , karena kebebasanlah satu-satunya medan dan cara bai manusia untuk mempelajari dan menerima keterbatasan. Makan dan minumlah, tetapi kemerdekaan untuk makan dan minum itu sudah tidak kita butuhkan sesudah kita habiskan dua piring nasi. Kita menjadi mengerti, keterbatasan adalah justru sasaran yang hendak dipakai kemerdekaan. Dan itulah satu-satunya metode penyelamatan hidup manusia.
Kalau kemerdekaan tak bermakna keterbatasan, apakah Anda akan makan dua puluh pring sehari? Karena api keinginan di dalam diri kita memang siap makan beribu-riu piring nasi, beribu-ribu hectare tanah, bermiliar-miliar uang, kedudukan abadi, serta apa saja. Namun guru kita bukanlah keinginan, melainkan kapasitas perut yang prasaja.
Perut tidak meminta macam-macam, ia hanya memerlukan sejumlah unsure yang diperlukan bagi kesehatan tubuh, lidah kita saja, baik lidah di mulut maupun “lidah buaya” yang menyandera dan menyeret kita untuk pergi ke bermacam-macam warung untuk mendapatkan berjenis-jenis makanan, dan minuman. Sedangkan perut tidak pernah membedakan gethuk dengan hamburger.


Api Kehendak
Kalau kemerdekaan tidak merupakan pelajaran yang arif tentang batasan-batasan, apakah Anda ingin diri dan hidup Anda terbakar api kehendak? Sebab kita semua ini ingin menjadi presiden sekaligus konglomerat sekaligus pakar ilmu sekaligus seniman besar sekaligus nabi: api keinginan sanggup melahap semua yang bisa dilibatkan dalam lingkaran keinginan.
Anda inginnya tidak segera mati bukan? Kapan mau dipanggil Tuhan? Nanti pada usia 60 tahun? Kita jawab: mbok ya 65. “Okey, 65. Kita ngenyang lagi: “Ya syukur kalau 70”. Baiklah 7. Kita bermanja lagi: “Saya akan sangat berteri makasih kalau bisa hidup sampai usia 8 tahun, syukur-syukur 100 tahun, atau entah berapa sehingga bisa masuk bukur rekor dunia sebagai orang tertua, serta bisa menikmati hidup sepuas-puasnya. Lebih sip lagi kalau pada usia seabad saya masih belum kampong, masih belum impoten, dan belum keriput….”
“Api “ itu sesungguhnya selalu punya naluri untuk menjilat hingga ke kosmos tak terhingga. Ia memliki hakikat untuk menemukan kembali sumbernya, yaitu cahaya.
Orang pergi jajan, orang ingin variasi, orang ingin tampil beda, orang ingin sesuatu yang lain, orang ingin penemuan, inovasi, invensi, dan seterusnya-pada hakikatnya karena sukma manusia itu bergerakmencari sumbernya.
Tetapi “jajan” yang kita perbincangkan ini”jajan” yang mentradisi dalam kehidupan masyarakathanya disadari sebatas konteksnya sebagai budaya sehari-hari yang “ringan”, dan “permukaan”. Jajan hanya dijalani, dihayati, dan dipahami hanya sebagai “peristiwa rekreasi” dan “peristiwa makanan”.
Jajan dilakukan manusia-sesungguhnya-sebagai peristiwa kejiwaaan, namun jiwa manusia tidak bisa mengambil jarak dari dirinya sendiri, sehingga peristiwa itu tidak disadari sebagai periatiwa kejiwaan.
Memang, peradaban manusia berulangkali mengalami degradasi dari ruh ke filosofi dan akhirnya ke materi.  Penurunan derajat dari “laku” ke “makanan”. Tapi Anda tak usah pusing. Kalau mau pergi jajan ya jajan saja![][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Humor, antara Estetika dan Kosmetika

Humor, antara Estetika dan Kosmetika

Semua humor itu plesetan. Plesetan di luar humor, bisa bernama penyelewengan hokum, kemunafikan sikap prilaku, atau tragedy politik.
            Humor, juga humor plesetan, itu kasus estetika. Radius “hak” humor hanya dalam wilayah konteks estetika. Ada pun dalam etika dan saintika, atau jika humor dan plesetan menjadi watak dunia etika dan saintika: destruksi hasilnya.
Jelasnya: dalam urusan etika (baik-buruk dan saintika (benar-salah), humor dan plesetanlhanya berfungsi kosmetik. Ibarat badan saintika itu anatomi tulang-belulang, etika itu daging dan kulit, estetika itu bedak pupur belaka. 4x4 itu 16, jangan diplesetkan menjadi sama dengan terserah “petunjuk bapak”. Itu hakiki saintika.
            Kedaulatan rakyat, dmokrasi, hak asasi, itu bukan humor dan jangan diplesetkan, kecuali sekadar untuk hiasan, rumbai, atau instrument pelentur dan penyegar dalam susah payah proses memujudkannya. Hak perut untuk diisi makanan, hak darah untuk beredar, hak akal untuk mencerap dan merumuskan, hak mulut untuk mengungkapkan, hak kaki dan tangan untuk bekerja, hak nurani untuk memperindah kehidupan-itu sangat  serius, bukan humor, bukan dagelan dan tidak “berkewajiban” untuk diplesetkan.
            Hal estetika sendiri, tentu tak usah kita jelas-jelaskan betapa pentingnya bagi kehidupan. Kalau kita menyuguhkan nasi dengan menaruhnya dalam botol, pasti “tidak lucu”. Juga kalau naik bus kota sambil menciumi foto pacar sampai basah-basah itu kertas foto: tidak salah menurut saintika dan etika, tapi “tidak lucu” menurut estetika.

Serius
            Humor itu serius dan dalam dirinya sendiri. Humor itu sungguh-sungguh sebagai kesenian hidup. Jika humor diterapkan sebagai prinsip dalam kebenaran ilmu, tata Negara, peribadatan, pergaulan rakyat-negara, manusia, Tuhan, dan lain sebagainya, ia merusak, seperti melipa-lipat kaca.
            Di dalam kesenian, juga humor dan plesetan, surealisme atau ekspresionisme-liberal boleh –atau bahkan disarankan- untuk diterapkan. Hidung boleh dilebih panjangkan, kepala silahkan ditambah-besarkan, kaki dibengkok-bengkokkan, dan wajah dipeletot-peletotkan; sebab fenomena itu berada dalam wilayah kemungkinan inovasi estetik. Dan itu hanya berlaku sebagai estetika. Tidak sebagai etika atau saintika.
            Maka data tentang kemiskinan dilarang untuk ditambah atau dikurangi. Fakta tentang korupsi, penindasan, pemelaratan, tak boleh dikecilkan atau dibesarkan. Fakta kehidupan, realitas manusia, kenyataan sejarah, bisa dihumorkan, tapi bukan humor.
Gejala plesetan yang membengkak tahun-tahun terakhir ini sesungguhnya terbatas pada jenis plesetan verbal: “Abdurrahman wahing…wahing pon wage kliwon…bumbu masak kliwooon…bumbu landu paranggi penyair sumba…sumba ainun nadjib…kasihan najib rakyat kita…kita purnamasari…saridin mbahmu!”
Ada pun hampir seluruh teknik humor sebenarnya adalah plesetan. Plesetan logika. Plesetan asosiasi. Plesetan pemahaman. Plesetan atas plesetan. Yang terakhir ini, maksudnya: ketika orang sudah terbiasa dan mulai “imun” terhadap tradisi plesetan, justru diberi yang tidak plesetan, artinya plesetan diplesetkan ke sungguh-sungguh. Alhasil, metode komunikasi untuk memproduk tawa selalu melalui plesetan, karena asal-usul tawa berasal dari segala sesuatu yang tak terduga, yang melenceng dari kerangka asosiasi baku. Hampir semua pelawak memplesetkan wajahnya.

Kemungkinan
            Humor selalu berdenyut di antara kutub kemungkinan sebagai ketahanan budaya dengan pelarian psikis. Kadarnya saja yang naik-turun. Estetika humor membuat manusia lebih kerasan hidup, lebih resisten terhadap penderitaan, lebih memperoleh kesegaran dan keindahan, bahkan apa saja pengalaman manusia dalam hidup, selalu bisa memabukkan, menjerumuskan, menjebak. Tidak hanya wiski yang bikin teller. Air biasa juga bisa, asal kita minum satu drum aspal.
            Jadi bahwa tradisi humor pada saat tertentu hanya merupakan jenis eksapisme psikologis dari masyarakat, antisipasi kita ada dua macam. Kalau bisa, sebarkan kesadaran beserta tekniknya agar jangan terhenti sebagai pelarian. Kalau tidak bisa, ya ndak apa-apa. Masih untung ada humor tempat pelarian. Habisnya mau lari ke mana rakyat Anda yang bersedih dan ditimpa kepusingan struktural? Kepada pak Camat, malah dikemplang. Kepada ulama, malah dicurigai sempalan. Kepada cendikiawan, malah dituduh cengeng. Kepada Tuhan, susah caranya omong-omongan.
            Kalau bicara soal eskapisme, yang mungkin menjadi terdakwa bukan hanya humor, tapi juga ibadat dan tarekat, diskusi dan asyik-masyuk acrobat intelektual, naik haji, sisi show demonstrasi, yayasan filantropi, romantisme “posmo”, sejumlah gejala “LSM”, seni tinggi, dan macam-macam lagi.

Kritik
            Tetapi pasti bagus untuk menyadari dan meletakkan humor dalam fungsi kritik. Tradisi clowns, guyon parikeno, abdidalem oceh-ocehan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya berlaku universal, selalu berfungsi kritik, meskipun tak usah dikasih beban melebihi kapasitasnya dalam menyumbang perubahan-perubahan dalam sejarah dengan “S” besar. Ia bahkan punya kelemahan mendasar tatkala disadari dan diperlakukan justru sebagai humor.
            Kita boleh mengoceh sampai kemeng, tapi sang Maharaja hanya tersenyum dan nyeletuk ringan: “Toh sekadar humor,“ dan rakyat percaya bahwa itu toh sekadar humor. Sayang sekali ada jenis kalangan yang terlalu pelit budaya dan kecut politik, “sekadar humor” saja dilarang.
            Humor itu kekayaan dahsyat yang memungkinkan seluruh sisi pergaulan dan pola komunikasi umat manusia lebih menemukan diri bahwa mereka hidup. Kuliah di kampus, ngungun di sel tahanan, dakwah agama, pidato politik dan ilmiah, pentas kesenian, rumah tangga, apa pun, akan penuh kematian jika steril dari estetika humor. Humor itu bagian amat mendasar dam mendalam dari daya survival manusia. Ada pun jika humor kita nafsuin untuk didayagunakan dalam konteks-konteks besar sejarah-perubahan sosial, perlawanan politik, tandingan budaya, dan seterusnya- itu cukup mungkin.
            Cuma, kalau gagasan semacam itu menggebu-gebu, biasanya tidak berasal dari orang yang “mengausai humor”. Para pelaku dan pentradisi humor biasanya tahu betapa pretense nonhumor yang berlebih bisa melunturkan metabolisme kreativitas humor dalam system saraf-dalamnya. Humor tidak terlalu dekat dengan otak, melainkan cenderung intim dengan naluri, instink, spontanitas, serta berbagai jenis kepekaan. Padahal bangunan setiap pretense politik itu sangat intelektualistik dan teknokrat. Di situ, orang malah bisa kehilangan humor.
            Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik-cendikia: Allah sendiri itu Mahahumor. Sudah enak-enak hidup sendiri kokbikin macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surge, dibiarkan tercampak ke bumi, kok lucu. Buah Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhannkehilangan sebiji Quldi? Mbok biarkan Adam kawin sama Hawa di surge, pengantinandan pesta sampai anak turunnya sekarang ini.
            Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkrama mesra dengan-nya. Lucu. Pakai Iblis-setan segala. Bertugas menggoda manusia. Terus manusia jadi susah sendiri. Ada yang membunuh ada yang dibunuh. Ada yang menindas ada yang ditindas. Ada yang sibuk korupsi tak habis-habisnya padahal makannya Cuma tiga piring sehari.
            Manusia juga jadi lucu-lucu dan aneh-aneh. Bikin sekolahan, merumuskan ideology, mempertengkarkannya dengan darah dan mesin, sok pintar, cari nama besar, merintis karir, padahal ujung-ujungnya ya kempot, peot, dan mati.[][1]



[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Agama dan Perubahan Sosial

Agama dan Perubahan Sosial

Agama sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban masa depan untuk manusia. Ia ibarat pelita kecil di sayup-sayup abad ke-21 yang dituntut untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang. Kecemasan para pakar pemerhati sejarah terhadap hampir seluruh evil product bidang-bidang politik, ekonomi, budaya, serta muatan prilaku sejarah umat manusia, akhirnya diacuhkan kepada kemungkinan peran agama.
Tulisan ini sekadar permintaan interupsi sesaat, yang penawaran tesisnya amat bersahaja. Sebaiknya kita tak usah terlalu tergesa memperpanjang-panjang pembicaraan tentang apa yang didorongkan oleh agama terhadap proses perubahan sosial, sebeum kita benahi dulu dasar filosofi, epistemoogi, atu bahkan “sekadar” struktur logika kita dalam memahami agama.
Pada akhirnya ini mungkin “sekadar soal istilah”, tetapi saya tidak bisa berhenti pada anggapan demikian. Saya tidak pernah sanggup mengucapkan kata “agama berperan dalam...“ saya hanya bisa menjumpai agama sebagaimana ayu, atom, biji besi, dedaunan atau anasir alam lainnya: ia tidak bisa menjadi subjek.
Agama harus tidak berasal dari nabi, murd-murid nabi, ulama, ruhaniwan, pujangga, atau jenis cerdik-cendikia macam apa pun. Agama hanya mungkin disebut agama apabila ia sepenuh-penuhnya merupakan hasil karya Tuhan –lepas dari enyataan bahwa kita boleh bertengkar secara metodoogis mengenai bagaimana sesuatu itu absah diangap sebagai hasil karya Tuhan.
Agama hanya mungkin sah disebut agama apabila berasal dari Tuhan, dan bukan kebetulan bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kepada agamauntuk berperan apa pun dalam kehidupan manusia. Yang menerima perintah adalah manusia, dan Tuhan telah memberinya fasilitas-fasilitas untuk menjalankan perintah itu. Sedangkan agama tidak mempunyai akal sebagaimana manusia. Agama tidak akan dimasukkan ke syurga ataupun neraka. Agama adalah makhuk Tuhan yang sama sekali berbeda dari manusia. Agama tidak punya kewajiban, tidak punya hak dan tidak dibebani tangung jawab apa pun.
Dengan logika pemahaman seperti ini seorang ahli tiak mungkin bisa mengatakan –umpamanya- “Agama tidak cukup untuk menangka kenakalan remaja...” yang tidak cukup, dan senantiasa relatif dan polemis, adalah tafsir manusia atas agama.

Manusia sebagai Subjek
Jadi permasalahan ini sangat jauh ebih dari sekadar “soal bahasa” atau “soal istilah”. Dengan demikian, pun, agama bukan hanya tidak bisa berperan apa-apa terhadap proses kemajuan hidup manusia: ia memang sama sekali tidak dilahirkan untuk itu. Manusia subjek yang harus bekerja dan bertangung jawab. Manusia pula yang maju atau mundur. Yang untung atau rugi. Kalau seluruh umat manusia berduyun-duyun meninggalkannya, agama “tenang-tenang saja”, tidak rugi sesuatu apa.
Oleh karena itu kalau harus berbicara tentang agama, saya selalu merasa harus mengambil jarak yang setepat-tepatnya dan sejernih-jernihnya dari pemahaman tentang agama yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Ibu kelahiran ilmu sosial adalah relitas sosial, sedangkan agama bukan kenyataan sosial. Jika ada dimensi dalam realitas sosial yang disebut agama, yang dimaksud sesungguhnya adalah upaya terbatas manusia dalam mewujudkan nilai-nilai yang diambilnya dari agama.
Sedangkan agama itu sendiri, sekali lagi, sama sekali bukan hasil karya manusia, bukan produk kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang berasal dari hasil upaya atau rekayasa manusia, sejauh-jauhnya hanya bisa disebut manifestasi agama.
Agama berbeda dari manifestasi agama, seperti halnya matahari berbeda dengan cahaya matahari, atau seniman berbeda dari karya seni atau dari rahasia ala ruhani yang menjadi sumber lahirnya karya sen.
Dalam hal ini saya sangat terikat oleh common sense: bahwa manusai tidak memiliki otoritas untuk menciptakan agama, memberi nama kepadanya, serta menentukan muatan nilai-nilainya; lepas bahwa kita bisa kekal memperbantahkan metode apa yang paling absahuntuk menentukan apakah suatu firman, umpamanya, itu berasal dari Allah langsung atau tidak.
Katakanlah ini barangkali sekadar sikap pribadi: jika ada agama yang berasal dari manusia, saya tidak akan pernah bersedia menganutnya. Saya tidak percaya pada manusia jenis apapun untuk bisa membimbing saya dalam hal-hal yang menyangkut kebahagiaan, kesejatian, keabadian, dan lain sebagainya.
Akan tetapi kalau saya tidak menggunakan “pengertian agama secara sosiologis” tidak berani saya lantas memakai “pengertian agama menurut agama itu sendiri”. Yang bisa saya pakai hanyalah pemahaman atau tafsir sya atas agama menurut Yang membuat Agama itu sendiri.
Anaoginya brangkali seperti bunyi kokok ayam: apa bunyi kokok ayam? Setiap orang menirukan bunyinya, mereflesikannyaberdasarkan cita rasa dan poa ungkap musikalnya. Aapun bunyi kokok ayam itu ya bunyi kokok ayam: kalau ayam ditanya apa bunyi kokoknya, ia cukup berkokok saja, dan sampai kiamat kita memperdebatkan hasil pendengaran kita atas bunyi kokok syam itu.
Pada level teortis, agama memuat segala sesuatu yang terbaik yang diperukan manusia untuk mengolah tujuan-tujuan hidupnya. Agama menyediakan demokrasi, etos kerja, kearfan, moralitas, serta apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempergaulkan dirinya dengan tanah , tetumbuhan, seluruh unsur alam, sesama manusia, cita-cita kebahagiaan dan kesejahteraan, juga manajemen keadilan, cinta, dan kebenaran.
Namun pada level kesunyatan agama telah dihinakan oleh kebodohan manusia, direduksi oleh kepentingan subjektif manusia, bahkan diubah wajahnya menjadi faktor sejarah yang merepotkan dan menjadi sumber peperangan.
Agama dirancukan dalam organisasi sosial atau gerakan kebudayaan. Tidak sedikit orang berkata, meyakini, dan memperbuat agama, padahal yang dimaksud sesunguhnya adalah sangkaan terhadap sesuatu yang mereka anggap agama.

Menemukan Kehadiran Agama
            Agama bahkan dipersempit menjadi mata kuda politik atau primordialisme formalistik. Keluaran maksimalnya adalah menjadi blunder atau ranjau dalam proses perdamaian dan keadilan. Keluaran minimanya adalah bahwa ia dieksploitasikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan yang sempit dan sepihak dari polarisasi kelompok-keompok dalam sejarah manusia.
Karena keterjajahan politik, ekonomi, da kebudayaan pada sementara bangsa-bangsa Asia, beberapa abad mutakhir ini agama terkikis dan dijadikan sekadar sebagai alat pelarian psikologis, dijadikan simbol dekadansi kultur, sementara perwujudannya di bidang politik terbelah dua: pertamadijadikan pisau fasisme, keduadijadikan legitimasi dan tradisi hipokrisi.
            Islam, misalnya, dimiskinkan –di dalam pemahaman para pemeluknya, tidak di dalam islam itu sendiri- menjadi makhuk yang hampir bertentangan dengan bagaimana Sang Pencipta Islam iu memahami ciptaan-Nya. Pemiskinan itu tidak berlangsung hanya pada level interpretasi, pemaknaan, dan penerjemahan sosiokulturnya, tetapi bahkan berlangsung pada tahap yang paling harfiah. Ada beribu contoh, tapi bahwa arti literer kata “Islam” itu sendiri sudah membias terlalu jauh.
            Di dalam kenyataan sejarah, tatkala alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengaami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama, pertanyaan-pertanyaanyang kita ajukan biasanya mengandaikan bahwa agama adalah sebuah “kotak” yang disepadankan esensi, eksistensi, dan fungsinya dengan, umpamanya, “kotak-kotak” lain yang bernama kekuatan ekonomi-politik, akumulasi kapital, investasi, dan eksploitasi sumber daya alam. Kita lantas mengasumsikan bahwa faktor ekonomi dan politik adalah kekuatan yang kita anggap paling progresifdalam mendorong perubahan-perubahan zaman. Kemudian kita melakukan komparasi dan berkesimpulan bahwa agama hanya kekuatan marginal
            Kita emahami, ekonomi, politik, dan agama sebagaimana kita memilah kacang, kedelai, dan jagung. Ilmu sosial melihat bahwa ada sebuah “rumah” kehidupan dengan bilik politik, bilik agama, bilik, kultur, bilik huku, bilik ekologi, dan seterusnya. Agama tidak dipandang sebagai tawaran nilai-nilai semacam muatan untuk bati (ruhani dan intelek) untuk ditolak atau dipakai oleh penghuni “rumah tersebut, serta memberinya gagasan bagaimana memperlakukan atau mengatur bilik-bilik tersebut.
            Saya kira akan tiba zaman dimana orang tidak lagi mengatakan bahwa “bercocok tanam itu ertanian, shalat itu agama”: pemahaman seperti itu telah memasuki ambang dekadensinya.
            Jika seseorang menanam pohon, menyraminya dan memelihara kesuburan tanahnya –perbuatan itu didorong oleh salah satu muatan yang dikandung agama, atau bersifat religius- terepas dari apakah orang tersebut menyadarinya atau tdak, mengakuinya atau tidak, menyebutnya demikian atau tidak.
            Agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol. Rius dan simbol adalah ungkapan budaya atas ruhani muatan agama. Sebagaiana kata-kata bukanlah puisi, kata-kata hanya alat untuk mengantarkan puisi. Alat atau bahasa mengungkap puisi sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan puisi itu sendiri.
            Agama ditemukan orang kehadirannya tatkala mencangkul tanah dengan ketakjuban kepada keagungan Allah. Ketika menatapi hutan belantara, keremangan senja dan hamparan bintang-bintang, dengan kekaguman kepada daya keindahan-Nya, ketika berdagang dalam kesadaran akan titik pusat hidup yang bernama Allah. Juga ketika menjalankan politik, ekonomi, hukum, organisasi, gerakan teknokrasi, negara, klub, laboratorium, proyek-proyek, memancing, berolah raga, bersenggama, dan apa saja, dengan keberangkatan dan orientasi titik pusat itu.dengan demikian, saya tidak bisa memakai suatu kerangka keilmuan yang menyebut, misalnya, faktor ekonomi dan politik dalah nonagama. Yang hidup dalam pengertian saya: apakah berpolitik, berekonomi, bersuami-istri, dan lain sebagainya adalah agama atau tidak.
            Sangat sederhana.[][1]




[1] Dalam bukunya Emha Ainun Nadjib; Surat Kepada Kanjeng Nabi

Soekarno: Kembali ke NKRI !!!

KONSEPSI NKRI
Oleh : Zaenun Nu’man

Pada tanggal 17 agustus 1945 perairan wilayah NKRI ketika itu di bagian peraiaran pedalaman berada dibawah kedaulatan mutlak NKRI yang ditunjukan kepada dunia internasional. Penentuan batas-batas wilayah NKRI disesuaikan dengan asas Negara kepulauan, pengaturan lalu lintas dan perairan yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan NKRI dan laut teritorialdiukur sejauh 12 mil dari garis pangkal laut yang menghubungkan titik-titik laut dari pulau terluar milik Indonesia. Hal ini menghasilkan satu kesatuan yang utuh dan bulat atas tanah dan air Indonesia.
Deklarasi landas kontinen yang tertuang dalam UUD no 1 tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia dipandang sebagai upaya untuk mengesahkan kekuasaan nusantara sekaligus mewujudkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Asas poko yang termuat dalam deklarasi ini salah satuanya adalah sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalah milik NKRI. Selain itu pada pada tanggal 21 maret 1980 pemerintah mengeluarkan pengumuman mengenai zona ekonomi eksklusif selebar 200 mil dihitung dari garis dasar laut wilayah Indonesia, melihat peraturan unglas yang memberikan kewenangan bahwa penarikan garis pangkal lurus diperbolehkan sapai 100 mil laut. Indonesia melakukan penarikan garis pangkal lurus pada kantong NATUNA dengan peraturan pemerintah no 61 tahun 1998 maka bertambah luaslah wilayah pengelolaan zina ekonomi eksklusif Indonesia.
Periode 1998 sampai dengan 2010 beberapa pencapaian kesepakatan pada batas maritime dengan Negara tetangga dapat dicatat dalam sejarah kewilayahan Indonesia, diantaranya kesepakatan batas zona ekonomi eksklusif dengan Australia disamudra hindia, laut timor hingga laut anaphora. Pada tahun 1998 di satu sisi diakuinya konsep wawasan nusantara, indonesiamendapatkan banyak pertambahan laut, disisi lain Indonesia oleh masyarakat internasional diwajibkan untuk menetapkan alur laut kepulauan Indonesia atau disebut ALKI. Dimana  alur laut kepulauan Indonesia ini kapal-kapal asing dapat melewati laut Indonesia dalam kondisitertentu. Ketentuan unglos memungkinkan pada batas landaskontinen disuatu Negara pantai hingga melebihi 200 mil laut dari pangkalnya dengan memanfaatkan menentukan ini,Indonesia kemudian melakukan submisi perluasan batas kontinen diluar 200 mil laut dengan bukti ilmiah berdasarkan survey dan pemetaan yang dikordinir oleh Badan kordinasi survey dan pemetaan nasional atau disingkat BAKOSURTANALyang menjadi badan informasi geospasial.
Akhirnya pada tanggal 17 agustus 2010 ualangtahun kemerdekaan yang ke 65 perwakilan republik Indonesia yang di Newyork, perjuangan putra putri terbaik bangsa membuahkan hasil isrimewa yaitu berupa penambahan batas kontinen seluas 4.209 Km persegi yang terletak dibarat daya wilayah aceh.
”Perjuangan setiap jengkal tanah dan air Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan dilakukan dengan mengankat senjata dan perjuangan ini lebih focus pada wilayah darat, kemudian pada deklarasi juanda tanggal 13 desember 1957 perjuangan ini beralih kepada perjuangan dengan cara diplomasi dan perjuanganitu tidak berhenti sampai disini saja, kita dimungkinkan juga untuk memperluasa wilayah kita yang diluar 200 mil laut dengan mensubmisi landas kontinen Indonesia dan kita mempunyai beberapa potensi wilayah untuk dijadikan landas kontinen diluar 200 mil laut ini.
BIG mempunyai peran tatkala NKRI ini sudah dipastikan batas-batasnya maka kordinat itu bisa ditentukan dengan cara akurat sehinga dikemudian hari tidak lagi diperselisihkan bahkan oleh orang lain sekalipun” DR.Ing Khafid (PLT) Kepala pusat pemetaan wilayah”.

Soekarno: ‘Kembali ke NKRI”
“Hai tentara, polisi dan rakyat. Perlipatgandakanlah usaha untuk mengemasi pengacau itu segala-gala harus dilakukan kalau kata-kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat puruhlah senjata atau kita kasih bahasa yang lebih kuat lagi.
            Maka kau angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingken oleh suatu politik. Angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berkobar-kobar berjiwa. Tapi diatidak boleh ikut-ikut politik.
Ayo bangsa Indonesia dengan jiwa yang berseri-seri berjalan terus dan jangan berhenti revolusimu belum selesai. Jangan berhenti, sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh sejarah dan siapa yang menyimpang terhadap arahnya sejarah tidak peduli dia dari sahabatpun yang akan digiling, dijilat oleh Negara amat sekali.

Kalau pihak belanda menantangnya dan tidak mau menyudahi kolonaialisme diirian barat, aku pasti akan dating. Entah besok entah lusa yang dia pasti digiling-gilas oleh sejarah. Yang mau hidup harus makan, yang mau makan harus kerja, yang tidak kerja tidak akan makan, jika tidak makan pasti mati inilah undang-undang dunia, inilah undang-undangnya hidup, mau tidak mau harus menerima undang-undang ini. Terimalah undang-undang itu dengan jiwa yang tegar dan merdeka, jiwa yang tidak menengadah melainkan kepada tuhan, sebab kita tidak bertujuan bernegaranya satu windu saja,kita bertujuan bernegara 1000 windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya. Jer basuki mowo beo sekali merdeka tetap  merdeka, merdeka, merdeka buat selama-lamanya”.

Sun Kang dan don chuang*

Sun Kang dan don chuang*

Sun Kang hidup pada zaman Dinasti Jin (317-420 M). Sejak kanak-kanak sudah tampak kepintarannya. Ia suka sekali dengan buku, tetap ia dibesarkan dari keluarga yang sangat miskinsampai minyak lampu pun tak sanggup mereka beli. Karena miskin dan kebutuhan sehari-hari yang mesti dicukupi, orangtuanya mewajibkann semua anakya bekerja sampai menjelang malam sehingga ia pulang kerumah dalm keadaan lelah dan juga tidak ada lagi waktu untuk membaca buku karena di rumah tidak ada penerangan. Didesa itu hanya rumah Sun Kang yang tidak ada penerangannya.
Sun Kang sering berangan-angan kalau saja rumahnya memiliki lampu, maka ia bisa membaca banyak buku. Karena sangat ingin membaca, ia bertanya kepada ayah dan ibunya, “semua tetangga kita punya lampu, hanya rumah kita yang tidak punya. Jika begini terus, siang hari bekerja dan malam tidak bisa membaca buku, kapan saya bisa menjadi anak pintar? Bisa tidak kita punya satu lampu?”
Mendengar pertanyaan anaknya, kedua orangtuanya sangat sedih. Dengan berat hati mereka berkata, “Sun Kang, kita sangat miskin dan minyak untuk lampu sangat maha, kita tidak sanggup membelinya. Jika kita membeli minyak, kita sekeluarga pelan-pelan bisa mati kelaparan.”
Setelah berkata begitu kedua orangtuanya meneteskan air mata. Ia pun ikut menangis.ia sungguh mengerti dan dan prihatin akan kondisi keluarganya sehingga i berjanji dalam hati untuk tidak lagi menuntut kedua orangtuanya membeli lampu mnyak.
Kerinduan untuk membaca buku tetplah besar. Sun Kang sering meminjam buku orang lain dan ia selalu mengembalikannya tepat waktu. Kendati seharian ia bekerja, lam hai ia selalu pergi ke luar rumah, mencari sinar rembulan untuk membaca buku. Namun, sinar yang serba-terbatas membuat kedua matanya sering letih dan tang sanggup membaca dalam waktu panjang.
Pada musim dingin, turun salju yang sangat lebat. Pada suatu malam, ketika hujan salju berhenti, udara terasa sangat segar dan rembulan bersinar terang. Sun kang berpikir ini waktu yang bagus untuk membaca. Karena itu, ia pergi ke luar dengan membawa satu buku untuk dibaca dibawah sinar embulandan juga terang dari lampu tetangga. Setelah membaca, ia pun merasa lelah dan ingin pulang. Dalam perjalanan pulang ia tersandung dan bukunya jatuh di atas salju. Karena ingin menyelamatkan bukunya, ia segera bangkit untuk mengambil buku itu walau kakinya terluka. Pada waktu ia hendak memungut bukunya, ia bisa melihat dengan jelas tulisan yang ada didalam buku. Kok bisa? Ternyata salju yang padat bisa memantulkan sinar rembulan sehingga cahaya bisa lebih terang lagi.
Menemukan persitiwa ini, Sun Kang pun bergembira karena ternyata dibalik musim salju yang dingin dia bisa membaca buku dengan lebih baik. Mulai hari itu tiap malam ia pergi ke luar untuk membaca buku dengan memanfaatkansinar rembulan dan pantulan cahaya dari salju. Ia terus berusaha melawan dingin agar bisa membaca buku. Sementara, jika orang kedinginan, ia mudah menderita borok di kulit. Penyakit ini diebut dong chuang. Jika orang sudah menderita borok itu, penyakit itu tidak bisa sembuh sapai musim dingin usai. Borok itu membuat daging dan kulit terbuka sehingga akan terasa perih sekali. Namun, walau harus menderita borok yang sangat perih, Sun Kang tetap pergi pada malam yang dinginhanya untuk bisa membaca buku. Lama-kelamaan tangan dan kakinya penuh dengan dong chuang yang sangat memerihkan, tetapi itu sama sekali tidak membuatnya berhenti membaca buku. Hanya dengan sinar rembulan dan pantulan sinar dari salju ia bisa membaca banyak buku. Oleh karena itu, tidak peduli seberapa sakit yang harus ia tahan dari borok musim dingin itu, ia tetap akan membaca buku.
Seiring berjalannya waktu, Sun Kang tumbuh menjadi ahli pikir yang brilian dan menjadi pnasehat kerajaan. Itulah akibat dari gemar membaca. Kisah ini berkembang dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi.
Kisah Sun Kang sungguh mengharukan dan akhirnya menjadi cerita untuk memotivasi anak-anak di Cina untuk membaca dan belajar.

*Kisah ini yang ditulis dalam Novel Peci Miring, Biografi Gusdur

Jomblo aksesoris atau ideologis?

Jomblo aksesoris atau ideologis?1

Seperti hal pada umumnya, jomblo seperti kutukan bagi yang sudah akut, dan sebagai cobaan bagi yang masih bisa diselamatkan.
Seperti kisah ini, dulu di negara marang, ada satu pemuda tampan bernama mastola, wajahnya yang kuning langsat cerah, hidungnya yang tawassut (tidak mancung, tak juga pesek), dahinya yang meruncing, tubuhnya lumayan kekar karena sering membantu orang tuanya jualan. Itu standarisasi kegantengan negara marang.
Mastola umurnya sudah 25 tahun, sudah dewasa dan matang bahkan mapan. Banyak gadis desa merubuti mencari perhatian supaya dipinang olehnya. Namun sikap mastola kepada gegadis seperti kurang respek, tentunya bukan karena tidak suka kepada wanita atau tidak ingin menikah, tapi karena ingin melayankan hidupnya kepada orang tuanya. "mumpung masih mampu" gumamnya dalam hati.
Disebelah desanya ada satu pemuda juga bernama masdar, umurnya tidak jauh dari mastola beda 1 tahun dibawahnya, unda-undi. Masdar ini lebih kekar tubuhnya dibanding mastola.
Ada juga Mardiah anak seorang pamong yang telah menamatkan muallimatnya di sekolah agama ki Agsur, sambil meneteng syahadah (sekarang berkembang menjadi ijazah), ia berjalan tersenyum karena baru saja diwisuda. Ditengah jalan, ia bertemu dengan mastola yang membawa keranjang belanja milik ibunya.
Mastola menyapa lebih dulu, "Mbak mardi darimana?",membuka percakapan. "Dari rumah ki agsur kang" wajahnya bersembunyi di balik kerudung kebayanya.
Pertemuan itu bukan pertama kali, namun sapaan itu dan saling melirik barulah pertama kalinya. Sering bertemu, ketika pagi mastola belanja, mardiah sedang menyapu atau bertemu dipasar bersama ibunya.
Sudah lama ternyata mastola mengidamkan gadis yang anggun lagi baik, sering mencuri berita dari tetangga yang terkadang nyinggung nama mardiah. Perkenalan yang resmi pun tak pernah, namun keduanya punya informasi mengenai mastola ataupun mardiah.
Berkali-kali pemuda desa datang melamar, namun mardiah menolaknya dengan alasan ingin lulus dari sekolahnya. Ternyata tambatan hatinya ke mastola.
Masdar yang bekerja sebagai petani sekaligus mengajar anak-anak dimusholla depan rumahnya pun sebenarnya suka dengan mardiah, gadis 23 tahun yang sering disebut banyak orang. Tak lama berselang, masdar memberanikan diri untuk berkenalan (sekarang berubah menjadi taaruf), dengan membawa pisang satu tundun dan sayur-mayur hasil sawahnya, dia datang kerumah mardiah.
Sesampainya disana, disambut oleh ramanya seorang pamong desa. “eh mas masdar, silahkan masuk. Gimana kabar keluarga?” pertanyaannya beruntun.
Belum sempet menjawab, pak pamong menyuruh mardiah untuk membikin kan teh untuk dia dan tamunya. Tak tahu alasan apa, tapi karena pak pamong menghormati orangtuanya masdar karena sopan dan tajir.
“gimana taninya mas, lancar?” tanyanya kembali. “alhamdulillah lancar pak”. Jawabnya singkat.
Mereka  terlibat diolog hangat dan sesekali menyinggung urusan perjodohan karena pak pamong sudah tidak sabar untuk acara mantu.
Sementara dibelakang, mardiah menguping pembicaraan mereka berdua.
“si mardiah itu lho, sekarang sudah lulus, kemaren ada dua pemuda melamar dia tapi saya tolak.”
“Kenapa pak?”
“karena sudah saya persiapkan buat sampean”. Katanya yang menjurus kearah serius.
Mardiah begitu bingung dengan pernyataan bapaknya yang tidak memberitahu dulu sebelumnya.
Dengan wajah sedih, dia teringat mastola yang begitu ramah dan hangat kepada semua orang, batinnya berbisi “mas, nikahi aku secepatnya atau kau akan kehilangan aku selamanya”.


 1.kata tepat yang mempresentasikan sikap asmara seorang sibuk-iyah.

Diskriminasi atas nama apa (lagi)?

Diskriminasi atas nama apa (lagi)?

“Bicara Gusdur, Bagi saya, beliau adalah Tali yang kuat dan bisa mengikat budaya, agama dll” begitu kata mbak Nia dalam diskusi Gusdurian dan kearifan lokal yang dikelola Wahid Institute dan Jaringan Gusdurian.
Sekarang masih sangat kental Diskriminasi di daerah-daerah, contohnya Agama/keprcayaan lokal (sunda wiwitan, cigugur, kuningan) yang belum mendapat pengakuan dari negara, bahkan menikahpun wajib mengikuti salah satu organisasi sebagai pengganti dari agama. Yang begini effectnya sangat besar, dari cibiran dunia maya, ketakutan anak-anak kita, yang begitu besar dikatain anak dluar nikah karena tidak punya surat nikah resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Dua Pesan Gusdur sebelum meinggal itu yang pertama adalah untuk hormati minoritas agama, dengan begitu agama kita akan  dapat terlihat. Yang kedua, katanya: Kita tak punya presiden tapi tak punya pemimpin. Ini la yang membuat saya tersadar. Lanjutnya.
Banyak ya, kami dari aktivis perempuan sempet mengkel juga dengan beliau pada satu saat ketika orde baru mau tumbang, tiba-tiba gusdur berkata: “Sudahlah, maafkan soeharto, begitu mudahnya beliau bicara, kami kan tidak terima, akhirnya teman-teman masuk keruangannya gusdur dan menanyakan perihal tersebut, bahwa alasannya adalah supaya pak harto itu mau ngembaliiun harta rakyat indonesia, ini jalan rekonsiliasi.

Sama halnya ketika beliau diturunkan dan dituduh macam-macam, gus nuril dan pasukannya dari jawa timur kan mau berangkat, saya dan teman-teman sudah kontakan untuk membernagkatkan da menyiapkan akomodasinya, sampai gusnuril bilang, kita berangkat tidak pakai jalur darat, artinya menggunakan ilmu gaib begitu, eh sama gusdur dilarang, tidak diperbolehkan berngkat. Katanya biar tidak ada pertumpahan darah.
Masalah status agama itu masih manipulatif.
Kalau Agama lokal diberangus karea urusan politik, maka sama saja membunuh budaya kita. Nia Sjarifudin ANBTI) kita sedang bernegosiasi supaya bisa adil terhadap agama atau keprcayaan yang tidak dianggap itu dalam KTP, bisa dengan menghapus kolom agama atau membebaskan. Mendagri malah menyuruh mengkosongkan agama, bila keyakinannya diluar 5 agama yang sudah diresmikan negara, lah ya susah, sering sekali teman-teman mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas negara ya, kalau di bank, atau akses seperti di bandara yang pandangannya tidak mengenakkan.
Agama itu tidak salah, hanya saja ada oknum yang mempolitisi seperti agaman-agama syiar yang dibawa kemana-mana itu sangat mudah dipolitisir, mudah ditumpangi urusan pribadi. Yang seharusnya dilakukan  itu adalah keteladanan, orang akan melihat itu, dengan itu juga akan meningkatkan statistiik dalam dunia.

Kami -sunda wiwitan- punya prinsip beribu pada waktu dan berbapak pada zaman.