Di
sekitar kita sering terdengar pemeo yang populer dan diam-diam disepakati oleh
masyrakat luas: “Anda boleh melontarkan kritik apa saja, tapi harus
diperhatikan cara dan tempatnya. Tidak semua hal bisa kita ungkap di depan
umum...”
Itu
edisi berikut dari klise “kritik bebas, asal konstruktif”, atau “melontar
pendapat bebas, tapi harus bertanggung jawab”. Dan semua itu merupakan
pola-pola komuikasi kontemporer yang wantah, sesudah masyarakat “modern”
kita gagal mentransformasikan idiom-idiom komunikasi budaya tradisional seperti
sanepan, guyon parikena, atau yang secara verbal sering kita terjemahkan
menjadi “kena ikannya, tak keruh airnya”.
Kita
bisa memahami semua itu dalam kerangka pergeseran-pergeseran bentuk ungkap
budaya, perubahan-perubahan etika komunikasi sosial, atau mungkin Anda temukan
kerangka lain: itu hanyalah suatu jenis retorika poitik,eufemisasi bahasa,
relativisasi epistemologi, yang keseluruhanya bermuara pada pusat-pusat
kepentingan politik. Dan itu “bisa dipahami” karena hampir seluruh mekanisme
kebudayaan masyarakat kita berposisi subordinatif terhadap kepanglimaan dunia
politik.
***
Siapakah yang menetukan “cara”,
“tempat”, “ditempat umum”, yakni antangan disampaikannya suatu kritik? Orang
yangmengkritik atau pihak yang dikritik?
Setiap kode etik komunikasi
mengandaikan suatu tatanan objektif yang disepakati secara imbang oleh kedua
belah pihak. Saya kira masyarakat kita memiliki kelemahan serius dalam hal
tersebut. Kalau Anda bermaksud menyamaikan kritik kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu yang dilakukan oleh Pak RT, dalam konteks
budaya kita, harus dilakukan dengan cara dan ditempat yang dikehendaki oleh
posisi nilai (psikologis, kultural) yang berlaku pada diri Pak RT. Bukan dengan
cara dan ditempat yang mau atau ditentukan oleh sebuah konvensi objektif, sebab
setiap konvensi memerlukan negoisasi berimbang antara Anda dengan Pak RT.
Dengan kata lain, pihak yang
mengkritik berposisi menyesuaikan diri terhadap orang yang dikritik. Penesuaian
itu bisa bermakna ngemon atau mengabdi, dan meletakkan Anda pada posisi
mengalah atau sungguh-sunguh kalah. Dan jika masih ada kalah-menang, yang
berlangsung bukanlah dialog kritis, melainkan penekanan dan ketertekanan
kekuaaaan.
Pada latar kultural semacam ini
tidak mengherankan bahwa tatkala sepanjang tahun 1990 dilontarkan isu
keterbukaan, ia terasa begitu manis ditelinga, namun ia adalah “kembang
plastik” dalam relitas budaya. Hanya kita-kita yang lugu yang tidak segera peka
bahwa isu-isu bergerak tidak menuju akulturasi suatu nilai, melainkan suatu
metode poitik kebudayaan. Atau lebih gamblang lagi: itu kembang gula dunia
politik.
Sampai hari ini kita masih belum
bisa membantah kenyataan bahwa kebudaaan negara dan masyarakat kita tidak
semakin meyediakan infrastruktur dan infrakultur untuk keberlangsungan
egalitarianitas mekanisme dialog. Pelawak Asmuni pernah secara cerdas nyeletuk:
bagaimana akan terjadi musaywarah kalau yang satu kuat dan yang satu lemah,
dimana-mana yang satu tambah kuat dan lainnya tambah lemah.
Pada metafora lain sering disebut
orang Indonesia itu tengeng lehernya. Ia cenderung tidak bisa menoleh ke
kiri atau ke kanan. Bisanya mendongak ke atas atau ndingkluk ke bawah.
Artinya, aspirasi dan tradisi
budayanya, baik yang”asli” maupun yang direkayasa oleh budaya politik, tidak
egaliter. Orang tidak begitu punya kemampuan untuk memandang orang lain dalam
posisi sejajardi kiri atau kanannya, karena naluri dan cara pandang yang
dididikkna ialah memandang orang lain sebagai atasan atau bawahan. Manusia
Indonesia seolah-olah hanya mempunyai budaya vertikal dan tidak memiliki garis
budaya horizontal.
Tentu saja kita tak beerkeberatan
apapun apabila yang kita omongkan adalah tata internal duniabirokrasi atau
organisasi kemiliteran. Akan tetapi yang kita jumpai dalam masyarakat kita
adalah salah-kaprah yang sangat parah dalam soal ini.
***
Seorang camat tetu saja memandang
bupati sebagai atasannya. Tetapi celakanya rakyat juga memandang pejabat sebagi
atasan. Ini warisan sejarah feodal dan dikukuhkan pula oleh refeodalisasi
budaya, yang rupanya diperlukan oleh poltik birokrasi negara kita. Dan karena
itu lebih celaka lagi karena pejabat yang memandang rakyat sebagai bawahan. Hal
ini bahkan terefklesikan ke dalam idiom kebahasaan: rakyat selalu disebut
rakyat biasa, sehingga pejabat pastilah rakyat luar biasa.
Orang miskin merasa bahwa orang kaya
adalah “atasan”nya. Ulama menganggap bahwa para jamaah adalah “bawahannya”.
Otoritas dalam bidang apa pun ha,pir selalu melahirkan tata budaya hirearkis-vertikal.
Murid sekolah secara psikologis melihat guru adalah atasan dan susahnya banyak
dosen-dosen juga meletakkan mahasiswa seolah-olah bawahannya.
Festival” salah kaprah seperti itu
mungkin tak pernah Anda bayangkan seberapa kerugian yang ditimbulkannya. Baik
kerugian fungsi, kerugian ilmu, kerugian kretvitas, serta kerugian
kesejahteraan secara menyeluruh. Kalau seorang guru melihat muridnya sebagai
bawahan, maka prospek kreativitas keilmuan cenderung menumpul, baik pada guru
maupun murid. Kelau seorang pegawai memandang masyarakat sebagai “orang di
dataran rendah” kata prinsip fungionalitas birokrasi menjadi rusak, filosofi
negara dan rakyat menjadi terbalik, sementara itu tinggal kita hitung berapa
defisit proses, kerugian demokrasi, bahkan berapa jumlah uang angaran yang
menjadi tidak efektifterhadap kehenak pembangunan yang sebenarnya.
Yang paling menyedihkan ialah
kenyatan bahwa banyak kalangan masyarakat umum, bahkan kaum terpelajar dan
birokrat, yang tidak memahami bahwa itu semua salah-kaprah. Generasi mutakhir
kita dilahirkan, dibesarkan dan dididik oleh atmosfer yang sedemikian, dan mereka
tidak cukup menyadari bahwa seharusnya tidaklah demikian.
***
Seorang ketua RT berpidato diiringi
ajudan yang membawakan kacamatanya. Seseorang dosen kehilangan ketrampilan
untuk membuka pintu mobil dan membawa tasnya ke kasntor fakultas, sehingga
diperlukan pembantu yang menolongnya. Pak kades, pak camat, atau apalagi pak
bupati memilih bentuk upacara dalam performance-nya dalam konteks apa
pun dengan ubo rampe ala pangeran atau raja. Seorang direktur perusahaan
atau seorang kasubdit merasa bahwa tatkala makan direstoran atau buang air
besar di WC ia tetaplah seorang direktur dan kasubdit.
Pemahaman budaya masyarakat kita
makin kehilangan pilah antara fungsi dan status. Seseorang tidak bisa
membedakan lagi –pada dirinya sendiri aupun orang lain- kontes-konteks yang
berbeda saat ia menjadi kapten, mejadi pemain sepakbola, menjadi bapak rumah
tangga, serta saat ia menjadi manusia.
Tentu saja pada diri setiap orang
bercampur dan terkait antara semua status dan fungsinya, namun ada yang namanya
galengan kesadaran, ada manajemen dan irigasi yang membeda-bedakan
kedudukannya di ruang dan waktu yang berbeda.
Dengan itu semua bisa kita bayangkan
betapa kisruhnya silang sengkarut konteks dan pola-pola komunikasi antara
manusia dalam kedudukannya yang begitu beragam setiap saat. Dan dalam keruwetan
seperti itu tidak mengherankan apabila kultur dialog tidak cukup memiliki
ladang untuk tumbuh subur.
Kalau di kelas sekolah atau bangku
universitas saja kultur dialog atau tradisi interargumentasi tidak cukup hidup,
maka apalagi pada skala sosial yang lebih luas dari itu. Tatkala seorang
wartawan bertanya kepada saya tentang isu keterbukaan, saya katakan, “ itu
pertanyaan terlalu lugu. Coba Anda omong terbuka ke Pak RT, dan tunggu jumlah
akibat-akibatnya!” Atau kemukakan pendapat Anda secara terbuka tentang tentara
kepada tentara.
Dan kalau mekanisme komunikasi
budaya yang berlangsung tidak dialogis, tentu monolog yang terjadi. Bagi kaum
atasan \, monolog ialah melontarkan otoritas terhadap bawahan, monolog ialah
melamun sendiri atau menggerunda di jalan trotoar, minum bir, beli SDSB, atau
rumah sakit iiwa.
Kemudian resultan dari keseluruhan
kultur tanpa dialog itu, seanjang yang kita ketahui, masih tersisa kemungkinan
untuk berdialog. Ialah apabila tema dialog itu menyangkut dunia alkisah.
Artinya, hal-hal yang tidak secara langsung menyangkut persoalan-persoalan kita
sendiri.
Anda
boleh memperdebatkan masalah keadilan sosial secara terbuka dan tanpa risiko
politis apa un, asal yang dimaksud adalah keadilan sosial dari masyarakat
anonim, atau sebaliknya “ketidakadilan sosial di Nairobi,” misalnya. Anda boleh
mengecam intervensi Irak ke Kuwait, aal jangan dihubungkan dengan kasus timor
timur.
Iklim
semacam itu melahirkan generasi kelu dan bisu, karena bapak sejarah mereka
tertutup dan ngratu.[][1]