Senin, 08 Februari 2016

Ta(n)pa Cinta.

Ta(n)pa Cinta.

Cinta segitiga; Allah-Rasulullah-dan manusia (Kita). namun ketika kita memaknai tapa tidak dengan (n) maka sejatinya adalah topo broto, meditasi, nyukuri, berusaha manunggal. sy yakin tmn2 seringkali melakukan topo atau bertapa (re;meditasi) dg sadar maupun tidak, sebab tapa tdk memerlukan syarat-syarat. hanya menyarankan untuk rileks (wis ma'luh lah itu).Teknisnya bisa dg musik, slh satunya ini usaha untuk 'menghamba' cc Firjaun, Bisa dengan tiduran telentang tp tdk ngorok, apa pun yg penting rileks. Bertapa seringkali menakutkan, baik kata kerjanya atau subjek si-nya. terlihat ngeri, medeni atau baget joss nya, pdhl sangat sederhana itu. Dulu, nyai Widuri dlm dongengnya jg bertapa 'wuda' spt nyai kalinyamat, stelah suaminya menuduh selingkuh dg sang pengembara d pantai widuri Pemalang raya, hnya untuk membuktikan bahwa dirinya 'thohiroh'. Patihanda Gadjah mada, srirama, laksmana, sugriwa (pamannya hanoman) dll dll, bertapa dlm rangka mensyukuri, - dlm buku2 dituliskan bertapa untuk memperoleh tugas yaitu Dharma, atas ini mereka meninggalkan 'semua yg terlihat'. Ada satu orang arab yg ahli bertapa d gua hira, yaitu njeng nabi muhammad saw, krn ingin menghamba, memfokuskan energi manusia dengan alam, fokus kpd rabb, sang pengasuh alam semesta. orang arab yg suka bertapa.
Kalau pegiat2 maiyah spt rifki, hadi dan ali sya raaa itu tanpa cinta, bukan karena mereka tak mampu mencintai, bahkan setia kepda satu orangoun mereka bisa. hehe (colek; mas faiq) namun seringkali balasan pesan cintnya tdk sampai,ya bisa sj nyangkut, hilang atau 'ketikung orang'. Tapi salutku pd mereka adl krn setia mencintai, tanpa 'saling' cinta. kalau mas aman, mas rokhim dan mas kus yg sudah menemukan 'cintanya' krn sudah riil menghasilkan putra-putri. dan jamaah yg lain yg mungkin menafsirkan Tanpa, tapa, ta(n)pa cinta dengan pendekatan fisiologi, atau makrifati silahkan yg terpenting cinta kepada Allah-Rasulullah dan manusia tdk berkurang, krn kaum muslimin pun adl istri-istri yg horizontal (tulisan iatriku seribu, Ean) jadi sudah kewajibanku menafkahi mereka dg 'menggilir' cintaku yang utuh kpd mereka. Ini kata mbahnun.
Kalau saya bicara cinta akan bnyak positifistik-haters hihii. jadi sekian saja imajinasiku, menangkap tema yg luar biasa mengilhami untuk tetap brcinta setiap hari[].


 Omah Gusdur, 31 Januari 2016.

Sirami Aku Api Mu

Mangkatku dr nyiputat, dihadiahi rimis 'hujan shoghir'. tp wlopun kroyokan ttp tek ladeni.
Sampai dpn uin, ada bberapa mobil merah anti macet. ya dengan uwiw-uwiwnya melayu, ada sekitar 7 kalau hitunganku tak nyangkut, spt dasarnya aku padamu.
Merah padam menyala bertulis 'pantng pulang sblum padam', klo tmn2 @faik, @rifki, @hadi dll 'pantang pulang sbelum padhang', artine sebelum alarm subuh dateng ya ttp nyangkrung, mbuh drmn dan mau kmn arah pembicaraanya, yg penting.....(isi ik..)
ada 3 mobil belok masuk UIN jakarta 1, tp maju-mundur maju-mundur, gelisah. spt kang mas agus syukur yg gundah dg perayaan kesarjanaannya. Hihii
Kulanjut saja, mungkin ada asap klo ada api, dulu. skrg pake elektrik jg ngebul kok. Mematahkan lalu menyulam kembali penemuan org2 nya. Spt biasa teh hangat disediakan mamahnya @hadi, lanjut-lanjut menuju pengajian budaya oleh: kanda Abdullah wong 'Mata penakluk' mencoba menyiram api negatif yg sebelumnya belum liat siraman api d ciputat. Jadi ya ini 'hijrahku', spt org banyak angan-angankan. Ketika yg lain menyiram api cemburu atau mwnumbuhlan api asmara, saya disini terus tersiram, mengharapkan siraman-siraman air, entah air identitas, air tenger atau air secra sub-fisiologis-kultur, atau mungkin airNya yg menenangkan jiwa-jiwa yg berkobar karena masalah atau nikmat.
#MataPenakluk
Lihatlah apa ug tdk terlihat.

Hmmmpt

“Hhhh..hhhh..hhhh..hmmmpt.." vibrasi hatiku saat ilc bubar.
Mlm ini (lg), ku sedekahkan sebagian wktuku buat nonton 'abis' ilc (tempurung pengacara indonesia), Pak darmawan yg berkorban membesarkan anak, jessica yg 'mbayari' kopi vietnam dan beberapa para pengais rejeki dr kasus 'di'hadirkan di teve (hadir sendiri atau terpaksa hadir, krn bhs indonesia berjalan subyektif).
Minggu ini, Iklan kopi menggetarkan indonesia lagi, stelah filosofi kopinya 'Dee' lestari, lagi-lagi dengan kopi, Indonesia terangkat. Saya sangat optimis kepada jessica-Hany maupun mirna, terlebih kepada Pak Yudi yang membesarkan hati 'junior'nya itu. Dari pertama temen-temen masang DP atau nyoba bikin meme yang disandingkan sama polwan, bidan, dan satpol pipi (karena cewek), "Nek polwan ditilang, nek bidan disuntik, nek satpol pipi digusur, atau sama jessica ditraktir kopi". Banyak juga komentar yang renyah menganai itu, ada yang bilang enak ditilang, enak disun-tik atau yang milih enak digusur-gusur. Tapi ya jelas, ini hanya komentar yang harus diabaikan saja.
Optimisku berawal dari kedai bekas kejadian yang semakin ramai dikunjungi banyak orang, tentang selera 'baru' ke kopi vietnam (enak-ga enak ya diminum, wong ini terkait mode), sampai ke pak budiman yang diartiskan para netizen pegawainya yang berjumlah 6000 lebih.
Ada satu orang yg membuatku terkekeh disini, Bapak pengacara 'eksekutif' yang resah dalam membela, lari kekubu 'abdi'nya yang sama-sama pengacara atau mantan adik kelasnya yg berlebel solihin, optimisku ya karena melihat orang benar itu susah. Saya juga pernah merasakan pak.
"Pendapat ahli itu tergantung pendapatan" prof J.E Sahetapy yang dikutip hakim agung Indonesia. Saya juga tak ingin membela- karena tak perlu dibela dan sudah banyak yang berbondong-bondong ngantri membela kok. hihii
Suatu saat nanti kopi rembang, kopi madura, kopi tahlil atau bahkan kopi jahat kiranya terangkat kemedia yang diberitakan kakak-kakak reporter handal. (Ini bukan harapan, haqqul yakin).
#Tafaddholi qahwatuki, ukt.

Catatan perjalanan ‘Ziarah Gusdur

[The seeding plural and peaceful islam]
Catatan perjalanan ‘Ziarah Gusdur’[1]
Zaenun Nu’man


Sejak kecil memang Gusdur sudah menyukai ziarah kubur, katanya, orang yang sudah meninggal memang tidak ada kepentingan. Begitu juga makam yang belum diketahui orang kemudian oleh Gusdur diziarahi setelah itu baru ramai, beberapa menyikap makam-makam wali. (laa ya’rifu wali illa al-wali)
Rasional-positifistik empirium , yang akan diangkat dari tema “gusdur dan ziarah” oleh ki Zastro.  “saya menemani gusdur ziarah itu sejak tahun ’88, begitu saya dekat dengan mbah yusuf. yang dulu sering berbicara sejarah, dan uniknya lagi, ketika dulu diteror oleh “pak harto” saya sowan ke gusdur kemudian oleh beliau selalu disembunyikan di makam-makam. Itu mulai tahun 1990-1994 seperti di Pamijahan, Panjalu dll. Gusdur selalu bisa menyebutkan siapa yang bersemayam di makam itu. Seperti ketika mau mencari makamnya syeikh ubuddin, kalau kita bicara mataram-hindu pusatnya di ndieng tho? Makanya syeikh ubuddin melakukan culture-culture di titik sini, langsung di pusat kekuasaanya. Karena menggunakan selain yang rasional harus ada spiritual.
Bahkan di daerah Manado, Gusdur tiba-tiba bilang “disini ada tempat tua ini tro, di pongkahuan.” Saya jalan selama setengah hari dan ketemu. “Disini sultan agung, pajajaran, semua ada disini kalau rapat Nusantar
a.” Dan di trowulan tahun 1991 terakhir ketemu Mbah (kudu) dul kadir asli, yaitu seorang yang mau menyebarkan agama islam langsung kejantung pertahanan Mojopahit tapi gagal karena pengkhianatan dari dalam melalui figur perempuan yang bernama nyi tanda, yang membocorkan skeneraionya mbah dul kadir berdua dengan mbah sunar dari maroko. Di Nusantara Sebenarnya dengan cara kekarasan sudah dicoba oleh mbah dul kadir tapi gagal.
1.       Melalui diplomasi dagang gagal. Pada Abad 13 islam belum diterima dan mayoritas masih kapitayyan, dibuktikan oleh sekertarisnya cheng ho.
Yang menarik dari ziarah, gusdur sebenanya mau menyampaiakan 3 hal.
A.      Ini bagian dari strategi kultural gusdur untuk mendudukan antara modernitas dan tradisionalitas, melalui ziarah kubur ini gusdur ingin ngomong kepada kaum modernis, dengan paradigmanya yang rasionalitas-posifistik-empirik-material ini bahwa rasional itu cuma separuh modernitas itu bukan superioritas, melalui laku ziarah kubur ini gusdur tidak memposisikan modernitas-tradisionalitas secara vis a vis secara diamoteran dan membentuk tesa-antitesa. Selama ini orang berfikir bahwa modern-tradisional itu berbenturan konfortatif-kontradiktif.
Atas kampanye kehebatan modernitas, kalau Tradisionalitas sudah tersingkir karena,
1.       Tidak mampu melawan
2.       Terserap sehingga merelakan diri meninggalkan atribut tradisionalnya dan  masuk berbondong-bondong mengikuti modernitas itu.
Gusdur Cuma mengingatkan, bahwa dengan laku ini modernitas hanya separuh, yang separuhnya ada di tradisionalitas yang kuncinya adalah spiritualitas. Makanya setelah gusdur ngomong pos modernisme dan pos-pos yang lain beliau mbalik ke kuburan. Spiritualisme sebagai konstruk kebudayaan. Secara faktual gusdur ingin membuktikan itu. Sehingga modernitas dan tradionalitas bagi gusdur didudukan sejajar sehingga menjadi hubungan yang komplementer bukan kontradikrif, yang saya pahami dari gusdur seperti itu.
B.      Gusdur ingin mengembalikan akar budaya nusantara yang sebetulnya dia itu kembali kepada konstruk kebudayaan yang mepertautkan antara rasionalitas dan spiritualitas. Serat centhini, serat waljinah gusdur juga tahu.
Pemikiran nusantara adalah akal/rasio, hati/roso dan spiritualitas jadi ini bentuknya akumulatif. Dari konstruk pemahaman yang 3 itu adaah tautan rasionalitas dan spiritualitas. Seperti kata joyoboyo, “wong jowo iku bakal dadi separo”
Posisi rasa bukan subyektifisme, tapi adalah alat ukur supaya manusia tetep jejeg dan seimbang. Pertama: Kaweruh adalah sesuatu yang masuk kedalam akal dan bisa dirasakan oleh indra/ rasionalitas dan material (akal), kedua: ngilmu atau irrasional (roso). Bahwa saya ingin membuktikan saintifikasi tentang klenik, tahayyul dll, itulah yang dilakukan gusdur.
                Ilmu dan spiritual perlu metodologi, bisa diverifikasi, dan empirik. Contoh orang sakit datang kerumah kyai dan dikasih air putih sembuh, begitu juga dengan resep dokter. Saintifikasi yang disebut klenik yang selama ini dilakukan gusdur dan gusdur dengan bangganya melakukan itu tidak debgan tedeng aling-aling, secara terbuka, kalau kita kan masih malu takut dibilang ahli klenik dan lain sebagainya. Tapi beliau terang-terangan melakukan ini, ziarah kubur dia mengumumkan kalau dirinya ahli ziarah. Bagi gusdur dibilang ahli klenik dan spiritual itu sama saja dibilang intelektual dan akademisi Cuma beda ruang saja.
Saya pernah ngomong begini di chalenge bersama Ikra nusabakti, “pak kalau ini spiritualitas menjadi bagian dalam membangun metodologi keilmuan, (dulu lagi ramai penipuan ust guntur bumi) nanti terjadi pembohongan begitu gimana? biar tidak palsu gimana? terus cara ngeceknya bagaimana? Cara memverifikasinya bagaimana? Mana yang bener mana yang engga?”
Saya tanya balik, kira-kira sampean bisa tidak memverifikasi si A ini sakitnya gara-gara apa?”,
Ya tidak bisa itu harus dokter
Ya sama, yang bisa memverifikasi ya ahli spiritual mendeteksi yang benar atau yang engga. Sampean juga tidak bisa ko, padahal kan ada ilmunya. Soal disalahguakan, dokter juga banyak yang menyalahgunakan, begitu juga politisi juga banyak yang  ngapusi rakyat. Yang ini samean hina-hina yang itu tidak. Nah dua hal ini yang jadi penting konteks ziarah kubur, inilah gerakan kultural dalam mengangkat Harkat martabat khazanah tradisionalitas dalam permukaan yang sama bobotnya dengan yang katanya superior-modernitas itu. Gusdur ingin mendudukan ke level yang sama, wong disini juga sama pakai yang ini ko, orang modern dimanapun, dieropa, amerika juga pakai spiritual, Cuma posisi spiritual dikalangan mereka seperti istri simpanan, disayang, dibutuhkan tapi tidak boleh eksis, sebab kalau eksis akan merusak sistem.
Sama kalau wilayah spiritual ini diakui melalui metode yang bisa dilatih dengan konstruksi bangunan epistimologis-filosofis, modernitas hancur. Padahal itu yang dibodoh-bodohkan ke kita semuanya supaya kita belajar itu semua, kita ikut-ikutan pejoratif memandang sisi ini semua, metodologinya sama. Untuk jadi dokter juga diseleksi, semua orang bisa menjadi dokter, dan diseleksi oleh ahli kedokteran, Oh ini ilmunya dan IQnya sampai. Sama seperti spiritual, bisa dideteksi seperti itu.
Untuk menjadi dokter kamu harus belajar serius, yang lain pacaran kamu belajar tentang fisiologi, yang lain nonton bioskop kamu sibuk pratek di laboratorium. Yang ini juga sama, yang lain tidur ngorok yang ini bangun wiridan, yang lain makan enak yang ini puasa.
Yang satu melatih kepekaan rasionalitas akal yang ini melatih spiritualitas jiwa, keduanya menimbulkan dampak yang sama, kekuatan yang sama, kalau diasah. Ini sebenarnya yang mau diomongin gusdur melalui laku itu. Gusdur secara jantan tanpa tedeng aling-aling ksatria membuka itu, yang lain masih malu-malu. Pura-pura modern mau nyalon DPR ke kuburan ya malu. Ini merupakan strategi luar biasa. Gusdur juga bisa menjelasan tentang amanat galunggung, soal keraton, soal karesen, pedesan pada abad ke 16.
Yang ketiga, kembali ke khazanah sumber dari ilmu pengetahuan yang sudah dibangun oleh leluhur kita. Jangan terlalu lama anda tersesat dibelantara peradaban orang lain itu, anak-anak nusatara sekarang sudah tersesat dibelantara peradaban itu, hanya menjadi pemulung ide dan pengais sampah peradaban bangsa lain, dan dengan bangganya mengakui sebagai intelektual dan akademisi padahal mereka tidak lebih dari fotokopi.
Gusdur mengingatkan, pulanglah kenusantara mumpung belum jauh tersesat.
Tembang lir-ilir itulah kearifan bangsa kita yang lampaui sekat sekat, yaitu sekat syariat, thariqat dll. Kanjeng sunan juga membelajarkan ajaran-ajaran islam melalui tembang ini.
Pernah juga setelah selesai pengajian di Demak kita ziarah ke mbah Ganjur, dari setengah 2 sampai subuh tidak ketemu, kemudian pulang karena belum diizini. Yang kedua kita datengin lagi makamnya pas banjir, sampai disana jembatannya hanyut. Yang ketiga pas ada acara di semarang baru bisa ziarah. Mbah Ganjur adalah pemimpin pasukan demak, yang dipasrahi raden fatah untuk memimpin pasukan demak untuk menyerang mojopahit sebetulnya, tapi begitu konsultasi ke mbah Ampel dilarang, karena kesannya jelek, anak nyerang orang tua. Menurut mbah Ampel, majapahit itu akan runtuh dari dalam.
***

Spiritual Gusdur yang sudah mendalam, yang kemudian mengetahui yang sejatinya. Kuburan yang telah menjadi istri pertama telah ditutup-tutupi dengan beberapa lembaga yang sengaja dibikin seperti kampus-kampus, lembaga kursus dan lain-lain. Rasionalitas dan spiritualitas adalah pondasi yang dibangun oleh Nusantara. Sekarang yang menggunakan spiritualitas meniadakan rasionalitas, tidak seperti orang-orang dahulu. Orang-orang sosialis seperti hatta, sudirman dll atau orang islamis seperti syeikh nawawi Banten, mbha kholil Bangkalan, sejauh-jauh mereka mencari ilmu baik kebarat maupun ketimur namun tetap nguri-uri Nusantara, mempunyai jiwa spiritual namun bertindak lokal wisdom.
                Abad ke 8 pada kerajaan seilendra,  sistem pluralsme sudah dilaksanakan, buktinya raja dan ratunya beda agama dan sama-sama menjalankan negara dengan baik. Rajanya membangun candi Prambanan dan istrinya membangun Bo0robudur. Juga pada abad ke 7, sudah memahami budaya gender yang sekarang ini baru hangat dibicarakan, seperti putri Sima dan gusti Tribuwana Tunggadewi.
Cara menghancurkan negara dari para Buto ialah menghilangkan sejarah dan melupakan tradisi. Sejarah yang sejainya menjadi (( مراجع الحيـاه  disusupi ilmu-ilmu barat seperti karl Marx dll, kalau tradisi jelas bukti peradaban Jawa sudah maju dan pentingnya sebagai pijakan orang-orang korban sejarah. Nah, proyek dan usaha yang dilakukan Nusantara saat ini adalah menghidupkan kebudayaan sebagai khazanah keilmuan dan universal. Kendalanya memang harus sabar, lama dan tidak terkenal. Namun inilah yang menjadi acuan kita supaya anak turun indonesia menjadi tahu betapa permatanya dulu Nusantara.
Bunuh diri adalah kritik sosial, karena orang-orang hanya ingin kehidupan (didunia) yang begitu fana dan hanya senda gurau “para pemain drama”, namun sebenarnya mereka telah mematikan kehidupan itu  sendiri, yaitu akalnya, hatinya, etikanya maupun estetikanya. Dan penyeimbang pemikiran Gusdur itu saalah satunnya menyukai musik-usik klasik barat, namun disisi lain suka ziarah, hafal dan paham sekali tentang macapat dan serat dewa ruci.
                Pulanglah ke Nusantara
                Karena di Nusantara bnyak sekali emas dan permata
                Jangan sampai dicuri orang lain
Dan dikembalikan menjadi sampah
                Jangan jadi kera, yang hanya tau pisang belaka
                Dan melepaskan permata
                Yang dibuat perang itu sendiri
                Karena hanya butuh pisang untuk mengenyangkan perut sendiri.

Wallahu a’lam Semoga barokah.



[1] Ringkasan dari diskusi Pemikiran Gusdur untuk pelajaran sekaligus sebagai uswatun hasanah lelaku kita dalam kehidupan dalam membentengi tradisi dan sejarah yang dikemas  secara rapi sebaga upaya penyeimbang di era globalisasi. dengan tema “Gusdur dan ziarah kubur” oleh ki zastro Al-ngatawi, dimoderatori oleh Fathudin Al-Kalimasi. Pada hari jumat 7 januari 2016.

Mu'tashim billah - Fasya

Mu’tashimbillah Fasya
Oleh: Zaenun Nu’man

Bangunan ini masih hangat terkena soroton matahari pagi sampai malam hari, hujan belum juga turun diakhir bulan kesembilan ini. Bangunan tua tiga lantai dan satu lantai sebagai jemuran ini adalah tempat para santri belajar, sekat-sekat yang masih menggunakan triplek, alas yang menggunakan ubin dan lemari yang berjejeran dengan tumpukan kitab diatasnya memperlihatkan suasana sore ini.
Lukman adalah santri baru di pondok pesantren Al-falah ini, bertempat di daerah Jawa tengah, dia santri pindahan dari pesantren Mislahul Mutaallimin yang ada dikota Jember. Sebelumnya, Lukman Mondok 3 tahun namun kurang serius dengan pelajarannya.
Lukman datang kepesantren diantar oleh keluarga besarnya. Dia sibuk mengamati santri-santri lain, “tradisinya sama, pada saat akan ngaji pasti ramai, semua santri membaca nadham imrithi sebelum dimulainya pengajian.” gerutunya dalam hati.. Setelah mendaftar dan sowan kepada Romo yai Farichin (Pengasuh Pesantren), keluarga besarnya berpamitan dengan lukman.

“Disini sudah saatnya belajar jang, pelajari apa saja yang penting dan membawa kemaslahatan untuk ummat” ayahnya membisiki sambil memeluk anak bungsunya.
“Kalau butuh apa-apa telpon ya jang, betah-betah, disini tho banyak temennya” ibunya memeluk erat sambil matanya berkaca-kaca, (lukman memang sedikit dimanja oleh keluarganya) disunlah kedua pipi lukman kemudian disusul dari keluarganya menyalami lukman kemudian meninggalkan ndalem Pesantren.
***
Kang jamal yang dari tadi menemani santri baru itu kemudian mengajaknya untuk naik keatas dan mempersilahkan untuk menempati kamar 4, saat itu penghuninya ada 12 anak dari masing-masing pedukuhan yang tidak terlalu jauh dari pesantren tersebut.
“Kamar kamu disini ya luk, ayo kenalan dulu sama yang lain” ajak kang jamal.
Kebetulan sore itu ada 4 anak santri baru dikamarnya dan yang lainnya masih ngaji dengan ustad Muslih di Aula pesantren.
“Njeh kang” jawabnya sopan.
“Ini Ahmad dari Bodas, ini Agus dari Kejene, ini Farhan dari Wangkelang dan ini Sodikin dari Gunungjaya” kang jamal mengenalkan satu-satu dari keempat santri baru itu dan Lukman menyalami mereka.
“Ini lemari kamu, saya tinggal dulu ya luk”, ucap kang jamal dengan sopan seraya memberikan kunci dan ngeloyor pergi entah kemana.
Setelah merapihkan bajunya, lukman nimbrung dengan teman-temannya bercerita yang notabene memang sama-sama santri baru. Lukman lebih banyak diam dan hanya sesekali mengeluarkan kata-kata itupun kalau menjawab pertanyaan dari temannya.
Malamnya lukman mengikuti jamaah mahrib dan isya, kemudian ikut sekolah madrasah awaliyah 1 yang sudah ditentukan kelasnya dari hasil tes seminggu yang lalu. Selama hampir 2 bulan lukman masih seperti dulu, pendiam dan pemalu, namun aktif mengikuti pelajaran karena tekadnya yang bulat sepulang dari pesantren yang lama.
70 hari sudah Lukman berada di pesantren. Dia merasa hari-harinya tidak ada sensasi atau suasana yang lebih memacu semangatnya untuk belajar lebig banyak lagi, masih datar.
Pada malam hari, suasana pesantren sudah mulai sepi, para santri sudah mulai pulang dari sekolah madrasah kekamarnya masing-masing, hanya beberapa santri saja yang ikut ngaji tafsir bersama pak yai, dan santri yang akan ronda mala mini.
Kang jamal bertugas memimpin komplek itu, seperti biasa mengingatkan kepada yang bertugas ronda untuk siap-siap. Dardiri, Rojak, Alif, Jaka, dan Saipul turun dan standby di pos jaga pesantren, tepatnya depan ndalem samping pintu masuk pesantren.
“Dar, saya beli rokok dulu buat amunisi malam ini” tekas Rojak.
“ya siap, kamu yang mbayari kan?” basi-basi dardiri.
“Ndasmu, makan surabi tadi pagi aja masih ngutang, sini urunan!”
Dari masing-masing mengeluarkan uangnya, ada yang 5.000, ada yang 3000 karena memang tidak ada batas minimum dan maksimumnya. Kalau ada ya dikasih, dan tidak bisa berbohong karena sudah melihat dengan mata batin. (banyak mata-mata dari teman sekamarnya). Rojak ngeloyor kewarung yu nasikah beli rokok dan kopi.
***
Di kamar 4, sambil menggelar sejadah sebagai alas untuk tidur, Lukman merebahkan badannya. Malam itu suasana hati lukman terbayang keadaan rumahnya, burung daranya yang kemarin baru melahirkan, gadgetnya yang baru dibeli sepulang mondok, teman-teman satu tongkrongannya dan lain-lain yang mengusik pikiran Lukman. Sampai jam setengah tiga, matanya tidak mau diajak merem, tubuhnya yang sudah lelah mengguling ke kanan, ke kiri, terkadang telentang pun masih tetap tidak bisa tidur.
Suara obrolan peronda pun dengan otomatis masuk ketelinga Lukman, namuan ada suara lain. lukman mendengar suara yang indah, ”kedengarannya ada yang baca al-Quran” gumamnya dalam hati. Kalaupun orang nderes, biasanya ya di Aula atas atau di masjid depan. Suara ini terdengar dari samping pesantren.
Setelah beberapa menit mendengarkan, dia memberanikan diri untuk bangun dan mencari sumber suara, semakin lama semakin jelas suara nderes dengan lagu jawa itu, subhanallah merdu sekali.
Suara tersebut berasal dari dapur umum tempat santri memasak nasi dan lauk pauk. Lukman masuk dan mendekati kang santri yang sedang mendendangkan qiraahnya, dan seperti sudah tau ada yang datang, santri tersebut berhenti dan menoleh kearah lukman.
“Belum tidur kang” sapa santri itu.
“Tidak bisa tidur kang” jawab lukman jujur.
“Sampean belum tidur juga?” Tanya lukman kembali.
“Saya baru bangun kang, lagi belajar qiroah.” Katanya sambil tersenyum.
Dapur umum yang hanya diterangi oleh satu lampu diluar membuat wajah keduanya samar-samar, Lukman memang belum banyak mengenal santri disini karena memang terdiri dari beberapa komplek. Dengan penglihatan samar-samar, lukman mengamati wajah lawan biacaranya itu.
“Kang saya mau belajar seperti sampean, saya pengin bisa qiroah” katanya memberanikan diri.
“Wah saya juga masih tahap belajar kang, kita belajar sama-sama saja ya” jawabnya sambil membuka kembali materi qiroah tersebut.
“Kuncinya istiqomah kang, kalau sampean memang serius belajar.” Lanjutnya. Kemudian mereka belajar bersama,
Hampir 3 bulan lukman belajar qiroah dengan santri tersebut tanpa mempertanyakan asal atau komplek patnernya itu. Hari-harinya kini dijalankan dengan semangat untuk terus belajar sampai akhirnya setelah 3 bulan penuh lukman sudah bisa melantunkan satu materi Nahawand dengan bagus dan indah.
Malam selanjutnya teman sekaligus gurunya itu tidak ada ditempat seperti biasanya,
“ah paling dia masih sholat tahajjud’ katanya dalam hati. Lukman belajar sendiri mengulang-ngulang materi qiroahnya, Sampai waktu mendekati subuh beliau tidak muncul juga. Perasaan khawatir kini menyelimuti lukman, dia tidak tau komplek bahkan nama temannya itu.

Setelah sholat subuh selesai, lukman kembali kedapur umum barangkali disana, namun tetap saja tidak ada.
Jam berganti jam, hari berganti hari, hampir setiap hari usaha lukman untuk menanyakan siapa sebenarnya santri yang selalu ngaji saat dini hari itu nihil, sampai pada saat malam ahad ketika semua santri ikut rutinan khitobah (belajar pidato), karena lukman tidak seperti biasanya ia datang paling akhir sebelum dimulainya acara. Ketika lukman turun dari tangga pesantren, ada mbah wahab dibawah menanti santri untuk meminta bantuan.
“cah, sini. Saya mau minta bantuan” ucap kakek yang sangat dikenal hampir semua santri, karena rumahnya dekat dengan pesantren.
“ada apa mbah?” tanya lukman.
“bantu saya buat angkat meja dirumah, merapihkan kitab-kitab” pinta mbah wahab. Memang mbah wahab ini santri angkatan pertama dari Romo Kyai Syahmarie Syarif ayah dari Kyai Farichin.
njeh mbah, mari” angguk lukman tanda mampu.
Dirumah mbah wabah ternyata sudah ada 3 santri dari komplek lain, dia adalah akmal, kodirin dan sunarto. Mereka menunggu bantuan satu orang lagi karena memang mejanya besar dan dibuat dari kayu jati, jadi memang harus di kerjakan oleh 4 orang. Mbah wahab memerintahkan agar mejanya ditaruh diluar saja. Dengan susah payah akhirnya mereka bisa memindahkan dan merapihkan kitab-kitabnya.
sampun mbah” celetuk kodirin karena menang sudah selesai.
“ya sudah, duduk dulu, mbah siti -istri mbah wahab- sedang menyiapkan jagung dan ubi   rebus” kata mbah wahab bungah.
Setelah mereka diajak ngobrol ngalor-ngidul, mereka juga diceritakan tentang sejarh pesantren dulu, sejarah beliau masih muda. Tiba saatnya dalam benak lukman untuk menanyakan siapa patner misteriusnya tersebut.
“mbah saya mau Tanya, apa njenengan tau siapa santri yang rajin nderes quran disaour umum?” tanyaku mencari tahu.
“lho kamu kenal?” Tanya mbah wahab heran.
njeh mbah, saya sering sekali ketemu dia dan sekarang belum melihat lagi” lukman tidak langsung jujur.
“dia namanya Mu’tashimbillah Fasya, adik abah yai.” Mbah wahab mulai menjelaskan.
“Beliau memang senang sekali kepada santri yang semangat untuk ngaji, belajar dan mau mutholaah pelajarannya.” Lanjutnya dengan suara pelan.
“Dia tinggal dikomplek mana mbah?” satu pertanyaan menyusul dari akmal.
Dengan menarik nafas dan meneguk teh tubruk yang mulai dingin, mbah wahab menjelaskan “Dia sudah tidak ada”.
“Maksudnya sudah meninggal mbah?” Tanya lukman tidak sabar menunggu penjelasan mbah wahab.
“iya, beliau sudah lama meninggal. Sekitar 30 tahun yang lalu. Beliau adalah sosok yang berharga dipesantren, selalu membantu kegiatan-kegiatan yang membuat santri untuk maju dan tidak ketinggalan dengan pelajar umum –yang tidak nyantri-. namun tidak banyak pula yang ditemui dan itupun rata-rata kepada santri yang sudah bertahun-tahun nyantri. kalau tidak ya yang sudah hafal alfiyah.” Jelasnya.
Malam itu terasa dingin sekali, angin-angin yang masuk melalui celah rumah kayu sederhana ini seakan mampu menembus kulit dan masuk ke tulang. Tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulut mereka berempat, padahal seribu pertanyaan mengoyak-oyak pikiran lukman.
“Gus bill ini, -panggilan mendiang Mu’tashim- dengan semangatnya sering mengajari santri kesenian-kesenian islam, ilmu dagang sampai ilmu kesehatan. Beliau ingin santri lulusan dari sini semakin kreatif, dan mengamalkan ilmuanya dimasyarakat.” Pungkas mbah wahab.
Ada satu kebahagiaan tersendiri masuk dalam pikiran lukman, yaitu pengajaran berbasis ghaib. Semua jawaban itu membuat lukman terdiam seribu kata.
“Ayo ubinya habiskan” kata mbah wahab memecah kebisuan.
“disini banyak kitab, apabila mau belajar silahkan dibawa, buat apa saya sudah tua kalau tidak diwariskan kepada penerus ulama-ulama ini” kelakar mbah wahab.
Setelah keluar dari rumah itu, lukman kembali bersemangat dalam belajar dan banyak nderes pelajaran-pelajaran yang sudah diberikan pesantren kepadanya, karena dia ingat pesan dari Gus bill ‘kuncinya adalah istiqomah’. Tentang Gus bill ini, Lukman menyimpan diam-diam dan tidak mau banyak yang tahu tentang ini.


Wallahu a’lam.